Yang menjadi aneh hampir setiap tahun, setiap panen, masalah beras, beriringan dengan masalah pupuk, yang tidak ada korelasinya dengan keharusan impor, apalagi kesejahteraan kaum tani
Penulis: Ryo Saladin, ST*)
Sudah bukan hal yang baru, apabila kabar berita terkait Indonesia akan melakukan impor beras yang terjadi setiap tahun, dan tentunya juga bukan hal yang aneh sekaligus mengkhawatirkan. Hingga kemudian muncul pendapat “soal tidak peka”, “tidak berpihak pada petani”, “pemerintah tak hargai petani” dan lain lain.
Langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia tercatat semenjak era kepemimpinan Presiden Soekarno sudah melakukan impor beras, untuk menjaga cadangan beras sebagai bahan pokok nasional, kontrol harga dipasaran. Berikut data dari BPS terkait impor beras Indonesia dari tahun 2018 sd 2022.
Ketika Negara turun tangan membuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebagai persediaan beras yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah melalui Perum BULOG, dengan arah penggunaan untuk penanggulangan keadaan darurat bencana dan kerawanan pangan pasca bencana. Seharusnya ini merupakan hal yang tepat, apalagi harga beras dipasaran seringkali naik tanpa kontrol dikarenakan jumlah permintaan lebih besar dengan persedian, hal ini juga untuk bisa memberikan penekanan terhadap mekanisme pasar yang cenderung dikuasai oleh para pemodal besar.
Hanya saja tetap peranan BULOG harus bisa melakukan penyerapan beras dari petani local atau dalam negeri, tentunya dengan harga pembelian dari pemerintah agar juga para pengusaha yang bermain di beras petani lokal tidak seenaknya mengeruk keuntungan, sebab rantai pasokan distribusi beras dalam negeri juga menempatkan petani di posisi paling bawah, tetap merugi dan hidup serba pas pasan.
Problema Petani Indonesia
Dari beberapa penelitian terkait tanaman pertanian holtikultura seperti bawang merah, sudah bisa ditentukan beberapa faktor produksi untuk bisa memberikan peningkatkan pendapatan kaum tani. Luas lahan pertanian, tenaga kerja, biaya benih, biaya pupuk dan biaya pestisida secara simultan berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan usaha tani. Dan secara parsial, faktor produksi yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha tani adalah luas lahan dan biaya pestisida, sementara faktor produksi tenaga kerja, biaya benih dan biaya pupuk berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan usaha tani.
Lahan pertanian, merupakan penentu dari pengaruh factor produksi komoditas pertanian. Semakin luas lahan (yang digarap/ditanam) semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. Tenaga kerja, dalam hal ini petani merupakan faktor penting dalam proses produksi komoditas pertanian. Sehingga secara umum modal, tanah dan teknologi merupakan faktor utama dalam proses produksi dan peningkatan pendapatan kaum tani.
Kepemilikan lahan pertanian antara 0,5 ha – 2 ha bagi petani Indonesia membuat hasil pendapatan usaha tani menjadi rendah. Belum dalam proses produksi seperti benih, pestisida dan pupuk sering didapat petani dengan berhutang pada toko, yang kemudian menyeret mereka kedalam lingkaran tengkulak, ijonisasi, rentenir atau banyak istilah dibeberapa tempat, yang prinsip kerjanya membuat kaum tani tidak bisa bebas memasarkan hasil produksi pertanian mereka, terikat dalam monopoli pembelian yang memberikan mereka “hutangan” kebutuhan pertanian dalam berproduksi, atau sederhananya modali.
Siklus sistem ijon, rentenir, tengkulak ini sudah lama berputar dalam tradisi pertanian di kehidupan kaum tani Indonesia, hingga tanpa sadar “lingkaran” tengah ini semakin lama semakin membesar dan menguat. Hingga bila kaum tani yang menerima hutangan tidak mampu bayar hutang dikarenakan gagal panen atau modal kerja yang didapat dari hutang tersebut terpakai untuk kebutuhan mendesak laiinya seperti kesehatan, sekolah dan lain lain.
Maka kaum tani harus rela melepas tanah pertanian mereka, alat produksi mereka untuk bertahan hidup dengan harga jual yang sangat rendah. Lalu munculah Tuan Baron (pemilik lahan luas) di sebuah desa yang menguasai faktor produksi utama dalam siklus pertanian, kemana kaum tani, untuk bertahan hidup akhirnya mereka menjual jasa tenaga kerjanya, menjadi buruh tani atau petani penggarap.
Sekali lagi, sistem ini sudah ada sedari lama, dan negara belum begitu maksimal untuk bisa menyelesaikannya. Belum maksimal artinya negara bisa menghancurkan sistem penghisapan bagi kaum tani tersebut. Karena kaum tani adalah soko guru kehidupan nasional kita, dan pangan adalah masalah hidup dan matinya sebuah bangsa itu kata bung Karno. Pangan seperti beras yang merupakan makanan pokok rakyat Indonesia, tidak seharusnya dipecahkan permasalahannya lewat impor. Walau dalam sejarahnya impor beras telah dilakukan mulai era kolonial, dan era Indonesia merdeka, tapi besaran terhadap jumlah impor beras sebagai pangan pokok semakin lama, semakin kesini semakin membutuhkan jumlah yang besar, serta anggaran biaya pembelian negara yang semakin besar
Rasionalisasi Kebutuhan Pasokan Beras
Berdasarkan data BPS dari tahun 2000 hingga tahun 2022 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. BPS mencatat RI mengimpor beras sebanyak 2,75 juta ton di tahun 2011, sebanyak 1,81 juta ton di tahun 2012, dan di tahun 2013, RI mengimpor 427,66 ribu ton beras. lalu pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar.
Saat ini, stok beras di Bulog tercatat hanya 295.337 ton atau hanya 59,76% beras cadangan pemerintah (CBP/ medium) dan sebanyak 198.865 atau dengan persentase 40,24% beras komersial. Jauh dari target pemerintah 1,2 juta ton di akhir tahun 2022.
Pertanyaanya berapa kebutuhan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Dari penelitian untuk satu kali makan, tiap orang butuh 100 gram beras. Jika dalam satu hari ia makan tiga kali, maka dalam sehari orang butuh 300 gram beras. Dalam setahun, ini sama dengan 109,5 kilogram. Bahkan pakar agronomi Institut Pertanian Bogor, Rudi Purwanto, mengatakan setiap orang Indonesia membutuhkan rata-rata 130 kilogram beras per tahun. Angka ini membuat rakyat Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia.
Jadi jika jumlah rakyat Indonesia berjumlah 273,8 juta (data tahun 2021) makan beras dalam sehari yakni, 0,3 kg x 273,8 juta = 82,14 ton/hari x 365 hari = 29,99 juta ton dalam 1 tahun. Jika rakyat Indonesia ada 40% tidak makan beras maka dalam 1 tahun kebutuhan beras secara nasional sebesar 17.997.560 ton atau 17.997.560.000 kg beras. Jika pemerintah Indonesia membuat Cadangan Beras Pemerintah sebesar 1 – 2 juta ton pertahun itu tidak lebih dari 5%.
Artinya, pasar atau pengusaha lah yang menentukan 90% lebih kebutuhan beras secara nasional. Dus, kaum tani Indonesia sejahtera dong, iya jika tanah yang jadi sawah dimiliki oleh petani Indonesia, iya jika produksi pertanian beras petani Indonesia tidak terjebak dalam system rente/ijon, dan iya jika kaum tani sebagai mayoritras rakyat Indonesia tidak terlibat dalam konflik konflik mengenai agraria.
Justru kondisi dilapangan seperti yang saya gambarkan diatas, bagaimana sistematis nya penghisapan terhadap kaum tani sedari dulu, hingga kemudian sistem penghisap (para rentenir dan ijon) dengan jejaringnya tersebut saat ini telah menjelma menjadi “kelompok” tengah yang memiliki modal produksi seperti tanah yang luas, jejaring pasar yang kuat sampai bisa mengatur mekanisme harga pasar, menentukan sistem produksi hulu dan hilir, hingga kemampuan ekspor dan impor secara mandiri. Kelompok modal ini juga kemudian bermetamorfosa untuk kemudian bisa “mengatur” sedemikian regulasi, peraturan yang menjaga kepentingan mereka, mendukung keuntungan usaha usaha mereka yang tentunya bekerjasama sistematis bersama politisi rente dan birokrat korup untuk mengatur permainan.
Hingga ketika kebijakan pemerintah untuk bisa memenuhi cadangan pasokan beras secara nasional yang hanya 1-2 juta ton pertahu, dibangun opini yang negatif, serba mengkawatirkan, serba salah dan lain lain. Karena sejatinya modal yang bermain dipasar, sangat tidak menghendaki intervensi dan pengawasan dari pemerintah (negara) kelompok modal bercorak liberal ini lah yang kemudian berusaha mengontrol seluruh sendi kehidupan manusia, kelompok modal liberal tersebut jika di Indonesia bernama kaum 1%, berdasarkan kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2019, Indonesia berada di jajaran teratas negara yang 1 % orang menguasai 50 % aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10 % keluarga maka ini menguasai 70 %. Artinya sisanya 90 % penduduk Indoensia memperebutkan 30 % sisanya
Negara yang melindungi dan membangun kesejahteraan
Ada hal yang menjadi perbedaan dalam struktur masyarakatnya yang kemudian masih belum menghabiskan budaya budaya feodal (lama) dibandingkan negara terdekat seperti Vietnam, dengan reformasi structural bernama Doi Moi, membuat Vietnama melesat pesat pembangunan ekonominya dengan memposisikan pertanian sebagai pendukung ekonomi terbesar melaui pengembangan teknologi di sektor pertanian Vietnam hingga berhasil membuat pertanian sebagai kontributor utama dalam kegiatan ekspornya.
Di era kepemimpinan Soeharto dan Jokowi, Indonesia mendapatkan penghargaan swasembada pangan oleh FAO Tahun 1984 kala itu, produksi beras nasional tercatat mencapai 27 juta ton, dengan tingkat konsumsi masyarakat hanya 25 juta ton.
Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi, Indonesia era Soeharto juga sempat menyumbangkan 100 ribu ton beras untuk Afrika.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, selama periode 1968-1998 kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok yang saling berhubungan. Pertama, memantapkan ketahanan pangan nasional dan kedua, memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas ekonomi (inflasi) nasional. Sedangkan tujuan terakhir, adalah meningkatkan pendapatan petani.
Komitmen Soeharto yang begitu besar direpresentasikan pada kebijakan produksi beras besar-besaran, salah satunya dalam pembangunan lahan dan irigasi. Investasi besar juga gencar pemerintahan Orde Baru lakukan sepanjang 1970 hingga 1980.
Namun, strategi tersebut lambat laun mulai mengalami perlambatan, sehingga berdampak pada laju produksi beras. Alhasil, pada 1990 pemerintah Soeharto kewalahan memenuhi konsumsi beras masyarakat yang bertumbuh menjadi 37 juta ton, dan memutuskan untuk mulai mengimpor beras.
Indonesia di kepemimpinan presiden Joko Widodo juga mendapat pengakuan sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada beras dari lembaga internasional. Hal itu ditandai dengan diterimanya penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) yang diberikan Direktur Jenderal IRRI, Jean Balie kepada Presiden Jokowi. Lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) turut mengakui keberhasilan Indonesia terkait swasembada beras.
Pada tahun 2019 produksi beras secara konsisten berada di angka 31,3 juta ton, Badan Pusat Statistik menghitung jumlah stok beras Indonesia per April 2022 berada di level 10,2 juta ton.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) juga memastikan bahwa pemerintah sudah menghentikan impor beras konsumsi sejak 2019. Salah satu pendorong penghentian impor beras adalah pembangunan bendungan dan irigasi di dalam negeri.
Pada 2014-2024, pemerintah menargetkan hadirnya 61 bendungan baru di penjuru negeri. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total bendungan yang telah selesai pada 2014-2021 mencapai 29 bendungan dan sebanyak 32 bendungan sedang dalam tahap konstruksi.
Pembangunan bendungan dan irigasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian secara berlanjut, pengoperasian 61 bendungan dan 51 daerah irigasi mampu meningkatkan intensitas tanam dari dari posisi 2014 sebanyak 137 % menjadi 254 %. Artinya, total panen dapat naik dari sekali setahun menjadi tiga kali setahun.
Walau kemudian laman resmi Badan Pusat Statistik masih mencatatkan adanya aktivitas impor beras yang dilakukan Indonesia hingga 2021 sebanyak 407,7 ribu ton. Impor beras terbanyak hingga tahun lalu tercatat berasal dari India dengan berat bersih melebihi 215,4 ribu ton, senilai US$ 86,27 juta atau setara Rp 1,3 triliun. Angka impor beras Indonesia tahun lalu tumbuh 14,4 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor beras mengalami penurunan sebesar 5,94 % menjadi US$ 183,8 juta sepanjang tahun lalu dibanding tahun sebelumnya.
Negara Indonesia ditengah kondisi mental rakyat Indonesia yang belum begitu tuntas dalam makna bernegara dan berbangsa, yang artinya sengaja dikaburkan identitas atau jati diri bangsanya. Karena bicara Indonesia dalam pemahaman buku “Eden in East” karya Stephen Oppenheimer menganalisa jika pusat peradaban di dunia ini dimulai dari timur dari Indonesia, atau ilmuwan asal Brasil, Arysio Nunes dos Santos. Dalam bukunya “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”, ia membandingkan beberapa negara dengan ciri-ciri Benua Atlantis, mulai dari luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi hingga cara bercocok tanam.
Tak tanggung-tanggung, penelitiannya untuk buku tersebut menghabiskan waktu 30 tahun. Santos akhirnya menyimpulkan jika Indonesia adalah Benua Atlantis. Atau beberapa kerajaan yang berjaya di Nusantara abad 7 sd 13 SM seperti Sriwijaya dan Majapahit, yang wilayah pengaruhnya hampir separuh benua Asia. Banyak lagi bukti kejayaan dan kebesaran bangsa yang juga disebut Wangsa Samudra, memiliki asal usul jati diri yang pemberani, cerdas, besar dan luhur.
Dari berbagai sejarah yang besar, dan pengalaman yang pernah ada terkait swasembada beras tidak sepatunya negeri yang makmur dan subur ini harus memenuhi kebutuhan nya terutama persoalan pangan seperti beras dengan membeli dari negara lainnya. Lebih tepatnya dimulai setiap tahunnya dari konsentrasi postur APBN di sektor pertanian di buat besar dari 15 triliun menjadi ratusan triliun, dari tidak sampai 1 % menjadi 35% lebih secara bertahap bahkan lebih, mengapa karena Indonesia negara agraris, dimana tongkat batu menjadi tanaman. Agar kemudian Negara bisa hadir dan fokus untuk melindungi dan mensejahterahkan kaum tani Indonesia.
*)STN Sumsel dan Bumi Bahari
Komentar