17 September 2022 - 01:06 WIB | Dibaca : 438 kali

Perang Urat Saraf Bjorka

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

Penulis: Rosdiansyah*)

Beberapa hari ini berbagai media dihebohkan dengan bocoran (leaks) dari akun “Bjorka”, lalu juga ada akun ‘”Desorde”‘ dan “Strovian”. Isi bocoran menyangkut data yang kabarnya masuk kategori “rahasia” dan sensitif.

Entah bagaimana kategori “rahasia” atau sensitif yang dimaksud, hingga saat ini tak ada penjelasan gamblang. Jangankan penjelasan dari otoritas resmi, penjelasan dari penyebar data itu pun tidak ada.
Publik hanya disodori kata atau kalimat menantang seolah data dari ketiga “hacker” tersebut adalah data “rahasia” dan sensitif. Hanya itu.

Tidak ada ulasan ihwal tingkat kerahasiaan atau sentivitasnya. Padahal, bagi siapa saja yang rajin berselancar di Google, sebenarnya sajian data bocoran ala Bjorka itu tak istimewa. Misalnya, data penyebab kematian Munir.

Itu sudah banyak diungkap berbagai media sejak 18 tahun lalu. Tinggal dirangkai saja kronologi peristiwa, aktor yang terlibat, lalu jejaring yang ada. Lengkap sudah.

Bukan Fenomena Baru

Melempar data ke publik sesungguhnya bukan fenomena baru dalam dunia intelijen. Jika spionase bertujuan mengumpulkan data dari beragam sumber, maka intelijen lebih luas. Kegiatan ini juga melakukan analisa dan evaluasi (anev) serta forecasting (prakiraan).

Pada masa pra-internet, pelemparan data ke publik biasanya menggunakan selebaran gelap, menyebar kasak-kusuk atau menebar gosip. Data dalam selebaran gelap atau konten kasak-kusuk lazimnya berasal dari sumber yang dekat pada pusat kekuasaan.

Namun, data itu juga bisa berasal dari hasil investigasi yang sudah di-crosscheck.

Ketika masuk era email sekitar awal dekade ’90-an, data bocoran biasa disebar melalui mail-list. Bocoran ini meningkat tajam saat 1998-1999 ketika terjadi gesekan antarkubu elite. Ada “TNI-Watch”, ada “Kabar Siwa Lima”, ada “Kabar Pijar”, “Analisa” dan masih banyak lagi.

Baca Juga :  Apa Kabar New Normal?

Peneliti AS John McDougall rajin mengumpulkan sekaligus menyebar aneka tulisan itu dalam forum ‘”Apakabar”. Berbagai informasi atau data “rahasia” dan sensitif tersebar dalam forum ini. Tanpa sensor. Bebas diakses siapa saja, tanpa harus log in atau jadi anggota.

Begitu masuk era media sosial, dunia intelijen pun ikut memakai medsos sebagai sarana mengawasi lalu-lintas perbincangan publik. Selain itu, teknik membocorkan data rahasia juga mulai sesekali muncul.

Tujuannya, untuk melihat reaksi publik sekaligus mengukur sensitivitas publik pada topik atau sosok tertentu. Kemudahan membuat akun media sosial serta membuat email bar, tentu ikut mendorong cara menyebarkan data seolah-olah dibocorkan.

Bahkan, teknik sebar, jaring, dan tangkap pun bisa menggunakan media sosial. Caranya, pertama menyebar data lewat media sosial. Kedua, menjaring siapa saja yang tertarik. Ketiga, baru mulai ditangkap satu persatu dengan barang bukti konten media sosial.

Bocoran Pasca-Snowden

Dalam artikelnya yang terbit di Jurnal Foreign Affairs (2014), mahaguru ilmu keamanan Universitas Georgetown AS Daniel Byman menyebut kasus Edward Snowden telah memantik debat seru. Antara kubu pro-keamanan nasional lawan kubu pro-kebebasan berekspresi.

Dua kubu ini tak pernah akur karena masing-masing punya argumen kokoh. Kubu pro-keamanan nasional berpandangan, Snowden telah membahayakan keamanan nasional.

Sebaliknya, kubu pro-kebebasan berekspresi beranggapan ulah Snowden bagian dari kebebasan berekspresi. Hingga kini perdebatan itu belum menemukan titik temu.

Snowden kontraktor resmi National Security Agency (NSA, Lembaga Keamanan Nasional). Ia tak memakai nama samaran ketika menyerahkan berjibun dokumen rahasia NSA ke para jurnalis. Ia tak mencuri dokumen itu, tapi secara sengaja menyerahkan dokumen kategori “classified” (rahasia) ke para jurnalis. Tentu ini perkara superserius.

Baca Juga :  Renovasi Layout Higienis dan Sanitasi Kerupuk Ikan Sarden Dahlia Kecamatan Jejawi

Presiden Barrack Obama pun segera membentuk kelompok pakar independen guna menangani kasus Snowden ini. Hasilnya, lebih dari 40 saran rekomendasi mereformasi sistem pengamanan sekaligus pengawasan. Termasuk, rekomendasi mengakhiri pengawasan terhadap kepala negara lain.

Berbeda dari Snowden, yang terjadi pada Bradley Manning justru bentuk kecerobohan. Manning prajurit AS. Ia bertugas mengawasi sekaligus menjaga lalu-lintas data penting kualifikasi rahasia. Namun, ia ceroboh hingga banyak data bocor ke publik.

Spontan Pentagon mengamankan Manning. Ia lalu dijatuhi hukuman lebih dari 30 tahun. Kasus Manning berbeda dari kasus Snowden walau sama-sama terjadi kebocoran data.

Kasus Snowden lebih mirip pembocoran data yang dilakukan Daniel Ellsberg, bekas analis militer AS yang bertugas pada 1954-1957. Ada kesengajaan Ellsberg membocorkan data rahasia ke publik yang disebut “Pentagon Papers”.

Aksi Snowden dan Ellsberg juga beda dari aksi kelompok Anonymous. Bedanya, kelompok Anonymous tak pernah jelas menunjukkan jati dirinya. Selain itu, bocoran yang disodorkan Anonymous ke publik adalah data curian.

Mirip dengan data curian Julian Assange, yang bisa jadi data itu memang sudah kadaluwarsa meski masih berkualifikasi rahasia. Sehingga tingkat aktualitas plus kredibilitas kontennya boleh jadi masih layak dipertanyakan publik.

Sensasional

Ada tiga poin yang bisa disimak dari peredaran data yang dikabarkan rahasia dan sensitif ke publik. Pertama, data itu dikabarkan hasil curian atau membobol gudang arsip daring milik lembaga resmi pemerintah. Publik seharusnya bisa mempertanyakan validitas, akurasi, serta aktualitas data terkait.

Tanpa pengecekan silang (crosscheck), data terkait yang beredar ke publik masih layak dipertanyakan. Apalagi jika tak ada sumber otoritatif yang bisa membuktikan data itu benar atau salah. Ditambah lagi, sebenarnya data yang disebar tiga hacker sohor itu besar kemungkinan sudah jamak ditemui di Google. Dikumpulkan, lalu dirangkai sendiri.

Baca Juga :  Data Pelanggan Bocor ? PLN dan Telkom Diminta Menghadap Kominfo

Kedua, data rahasia dan sensitif itu sengaja dibocorkan oleh oknum-oknum lembaga tertentu untuk melihat reaksi publik. Agar tampak dramatis, data tak dikirim langsung ke media massa, melainkan ke sebuah forum hacker.

Selanjutnya, perbincangan forum dilempar ke media sosial, lalu insan media massa menangkap perbincangan dari media sosial tersebut dan memberitakannya. Lepas dari motif di balik kebocoran, yang jelas muncul reaksi publik terkaget-kaget melihat data, konon rahasia dan sensitif, yang dijual bebas.

Ketiga, memang ada kecerobohan sistem keamanan siber dari lembaga negara. Sistem yang ada tak terlalu tangguh untuk diterobos, namun data yang tersimpan dalam sistem itu merupakan data lama yang belum diperbaharui.

Hanya saja, ada sensasi memantik publik. Dianggap data itu tak biasa karen menyangkut kerahasiaan meski tak diketahui seberapa tinggi tingkat kerahasiaannya.

Dari ketiga poin di atas, patut diduga itulah perang urat saraf (PUS, psychological warfare) ala Bjorka dan sohib hacker-nya.

Kesuksesan PUS tergantung pada sensasional kabar yang digulir ke publik. Ketika kabar itu jadi perbincangan publik, maka PUS boleh dikata berhasil. Sebaliknya, jika publik justru kritis pada konten data dalam kabar yang tersebar, maka PUS gagal.

Yang terjadi saat ini, otoritas pemerintah masih fokus pada siapa Bjorka dan konco-konconya itu. Otoritas keamanan belum memitigasi situasi kecuali menyangkal apapun yang diujar hacker.

*)Peneliti kontra-terorisme dan kebangsaan, staf pengajar Unair, Surabaya

Komentar