Penulis: Joko Riyanto*)
Buruh sedunia dan aktivis peduli perburuhan memperingati Hari Buruh (May Day) 1 Mei sebagaimana pentingnya perjuangan dan pengorbanan untuk menuntut sebuah perubahan.
May Day dijadikan momentum bagi kaum buruh untuk terus mendapatkan hak-haknya dan perbaikan nasib mereka. Melihat dari segi historisnya, Hari Buruh memang menjadi rutinitas tahunan meski upaya advokasi ketenagakerjaan dilakukan nyaris setiap hari.
Suksesnya aksi demonstrasi elemen pekerja yang tergabung dalam berbagai serikat buruh dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan pada masa lalu, menginspirasi generasi selanjutnya untuk melanjutkan perjuangan melawan otoritarianisme dan kolonialisme gaya baru yang berjubah perundang-undangan dengan kombinasi kekuatan modal dan pengaruh kekuasaan.
John Ingelson (2004) menyatakan bahwa menjadi buruh di negeri ini bak seonggok tubuh dengan “tangan dan kaki terikat”! Betapa tidak, kehidupan sosial-ekonomi mereka relatif memburuk, meskipun kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi semakin terbuka.
Saat ini, dinamika gerakan buruh kembali menggeliat pascaruntuhnya Orde Baru pada 1988. Puluhan organisasi buruh dan serikat pekerja lahir dan eksis sebagai elemen non-negara yang relatif independen. Namun, gerakan buruh di era reformasi secara faktual menghadapi tiga kekuatan besar sekaligus, yaitu negara, pengusaha, dan modal global.
Dalam konteks negara, gerakan buruh masih berhadapan dengan berbagai kebijakan negara, terutama di bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dan investasi.
Semua itu tidak hanya inkonsisten dan berwatak “anti-buruh”, akan tetapi juga memandang buruh sebagai non-faktor dalam desain besar kebijakan ekonomi, industri, dan proses produksi.
Adanya hegemoni penguasa tidak sebanding dengan lemahnya gerakan buruh menghadapi kasus perburuhan.
Ketidakberdayaan kelompok-kelompok gerakan buruh dalam membela kepentingan menyebabkan organisasi buruh tidak berdaya dan kehilangan kepercayaan diri. Kondisi gerakan buruh yang masih berada dalam posisi lemah sampai kini masih terus diserang dari segala penjuru melalui represivitas gaya baru.
Produk hukum berupa UU tentang Cipta Kerja, sebenarnya sudah ditolak karena dinilai tidak prokepentingan buruh. Produk hukum itu, secara substansi tidak pernah prokepentingan buruh.
Padahal, hukum perburuhan di negara mana pun selalu melindungi kepentingan buruh. Sebab, dalam realitasnya, hubungan buruh dan majikan memang tidak setara.
Politik hukum di negeri ini belum menguntungkan kaum buruh karena banyak hal yang berkaitan hak-hak buruh justru makin dikebiri. Sebut saja masalah-masalah seperti upah, outsourcing (perjanjian pemborongan pekerjaan), status kerja, pesangon, kebebasan berserikat, jam kerja dan mogok.
Bukankah investor enggan bertandang terlebih karena sistem birokrasi yang tak efisien dan koruptif?
Harus diakui bahwa pemerintah telah gagal mendiagnosis patologi sosial-ekonomi negeri, tapi buruhlah selain petani dan nelayan yang selalu dijadikan obyek anonim untuk dikorbankan.
Politik gerakan buruh di Indonesia, seperti halnya di negeri-negeri Asia Tenggara lainnya, memang telah ditekan sedemikian rupa agar mengadopsi “keserikatburuhan ekonomi” ketimbang “keserikatburuhan politik” yang dulu hadir dalam masa-masa perlawanan atas penjajahan.
Tradisi “keserikatburuhan politik” pun kini hancur dengan dampak telah terbatasnya perjuangan buruh pada kesejahteraan ekonomi, yang lepas dari agenda sosial dan politik yang lebih luas (Herdi Sahrasad dan Ismail Fahmi Panimbang, 2005).
Dalam konteks pengusaha, gerakan buruh harus menghadapi sikap konservatif para pelaku bisnis lokal. Mereka memiliki prinsip bahwa fenomena kelebihan buruh, upah yang murah, dan jaminan sosial yang rendah adalah “nilai positif” yang harus dipertahankan.
Apalagi, dalam situasi perekonomian yang memburuk dan krisis. Hampir sepanjang sejarah kehidupan dunia, juga di Indonesia, nasib kaum buruh selalu mengenaskan. Kaum buruh dijadikan alat penarik kepentingan modal dan investasi asing demi meraih keuntungan sepihak, yaitu penguasa dan pengusaha.
Saat ini, kondisi kaum buruh di negeri ini masih termarginalisasi, tertindas, tidak memiliki daya tawar, mudah “dibohongi”. Selain itu, buruh sangat mudah dijadikan objek kepentingan politik penguasa dan pengusaha.
Celakanya, posisi buruh selama ini sekadar penjual tenaga kerja, tidak lebih. Sementara posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja, yang bebas memilih dan menggunakan, sekaligus mengawasi jalannya proses produksi. Di sini, kaum buruh tidak ditempatkan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki hak yang sama dibanding pemodal yang bisa leluasa mengeruk untung yang sebesar-besarnya (Choirul Mahfud, 2007).
Dalam konteks internasional, gerakan buruh juga harus berhadapan dengan tuntutan liberalisasi sektor ketenagakerjaan yang disuarakan secara keras oleh para investor global.
Korporasi global, dengan sistem pasar bebasnya, hanya tertarik berinvestasi di negara yang kebijakan perburuhannya cenderung berpihak dan para penguasanya bersikap promodal serta tidak berpihak pada buruh. Para investor dengan modalnya seringkali memaksa kepada negara supaya memberikan jalan mudah dan peraturan yang memihak (menguntungkan) mereka.
Pandemi Covid-19 selama dua tahun dan ancaman krisis ekonomil global secara otomatis berpengaruh terhadap kesejahteraan kaum buruh dalam mendapatkan penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya. Selanjutnya, segala upaya untuk menyelesaikan perselisihan industrial secara kooperatif serta mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah justru semakin menegaskan bahwa sampai hari ini tidak ada karakter penguasa dan pengusaha yang berjiwa nasionalis dan populis.
Untuk itu, sejumlah langkah progresif perlu segera dilakukan guna memperbaiki nasib buruh.
Pertama, penyelesaian persoalan pengangguran yang tinggi melalui kebijakan perluasan lapangan kerja dan pemberdayaan sektor-sektor informal.
Kedua, peningkatan jaminan perlindungan sosial dan keamanan, menyangkut jaminan kecelakaan, masa depan (hari tua), tunjangan kematian, dan hak-hak konstitusi buruh sebagai warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta menolak PHK.
Pemenuhan hak-hak ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara esensial juga merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib buruh.
UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (3) secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Ditambah, Pasal 34 Ayat (2), “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Dua pasal itu bermakna bahwa ada prinsip hak asasi manusia (HAM) pada jaminan sosial karena seluruh rakyat adalah pemegang hak. Di sisi lain, negara sebagai pengemban kewajiban untuk memenuhi hak itu.
Ketiga, menolak pelembagaan bipartit nasional dan menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Keempat, pelaksanaan kepastian hukum secara tegas terhadap pelanggar undang-undang tanpa memihak.
Kelima, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan pemberdayaan sektor informal, melalui kualitas mutu pekerja berdasarkan pendidikan yang menjamin untuk kebutuhan dunia usaha.
Keenam, pemerintah bertanggung jawab atas dampak bencana sosial ekonomi nasional dengan memenuhi kenaikan upah buruh tiap tahunnya sesuai dengan kehidupan yang layak. Semoga Hari Buruh menjadi refleksi semua pihak secara serius peduli nasib kaum buruh.
*)Koordinator Riset Pusat Kajian Dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
Komentar