7 September 2024 - 06:19 WIB | Dibaca : 122 kali

Dilema Modal Ikat Pinggang dan Sanksi Profesi

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

Penulis: Insan Kamil*)

Kehormatan Hakim terkadang luput dari perlindungan pada saat menjalankan tugas, banyak sekali hakim menjadi korban dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim (PMKH) baik oleh para pihak masyarakat, terdakwa, maupun pengunjung sidang.

Salah satu contohnya adalah Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat berinisial DS (sumber) yang sempat viral pada Agustus 2023, yang mengaku dan menyesali akibat menerima suap dari terdakwa melalui advokatnya ataupun pengacara D yang melakukan penyabetan ikat pinggang kepada hakim di PN Jakarta Pusat.

Kedua kasus di atas mengungkap betapa rentannya posisi hakim dalam menangani perkara-perkara oleh para pihak.

Bak Kapal di terjang angin, Situasi ini menunjukkan sebegitu rentan kondisi hakim dalam menjalankan tugasnya sehingga masih saja bisa kecolongan disuap untuk suatu perkara.

Persoalan ini tentu membuat gamang bagi penegakan hukum di tanah air. Berangkat dari situasi ini menjadi masuk akal bahwa mempertanyakan sejauh mana konsekuensi yang diberikan oleh organisasi profesi advokat kepada anggotanya yang melakukan perilaku yang tentu melanggar etik ini. Karena akibat oknum-oknum advokat yang tidak bertanggung jawab ini tentu menyebabkan terganggunya integritas peradilan dan hakim dalam menegakkan hukum bila dibiarkan seperti ini terus menerus maka bukan hanya sekedar mengganggu tapi juga menghambat ketertiban masyarakat karena mengingat putusan hakim bukan hanya untuk ketertiban individu namun juga ketertiban masyarakat yang berujung pada ketidakpercayaan masyarakat kepada hakim atau lembaga peradilan.

Baca Juga :  Sampah dan Pendapatan Kota Palembang (bag.2)

Ketertiban umum sering kali terganggu ketika integritas hakim terancam. Hakim yang seharusnya menjaga keadilan dan hukum, bisa kehilangan kredibilitasnya akibat perilaku tidak etis, seperti suap atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketika masyarakat melihat bahwa keputusan hukum bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, kepercayaan terhadap sistem peradilan menurun. Hal ini memicu ketidakpuasan, keraguan, dan bahkan protes dari publik.

Akibatnya, ketertiban umum bisa terancam karena rasa keadilan yang tidak terpenuhi, mengakibatkan ketidakstabilan sosial.

Penting untuk memastikan bahwa hakim bertindak dengan integritas tinggi agar keadilan bisa ditegakkan dan ketertiban masyarakat tetap terjaga.

Perangkat Etika Organisasi Profesi Advokat

Dalam ranah hukum, kejadian ini dikenal istilah Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim ( PMKH) yang kerap kali mencuat dalam perbincangan tentang integritas peradilan.

PMKH adalah tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau badan hukum yang berupaya mengganggu proses persidangan, mengancam keamanan hakim, serta melakukan penghinaan terhadap hakim dan lembaga pengadilan, baik di dalam maupun di luar ruang sidang.

Sementara PMKH fokus pada gangguan, ancaman, dan penghinaan terhadap hakim sesuai dengan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2020 tentang Advokasi Hakim.

Baca Juga :  Banjir Besar Tahun 2024: Perubahan Iklim dan Forum Air Sedunia

Lebih jauh, persoalan PMKH yang dilakukan oleh advokat memberikan suap atau melakukan penyabetan ikat pinggang kepada hakim terlepas dari suruhan klien atau tidak yang mempengaruhi putusannya dapat dikategorikan sebagai PMKH yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara sesuai pasal 1 ayat (2) dalam Per-KY No. 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim.

Selain contoh kasus diatas detik.com melansir Advokat berinisial TYP melakukan suap kepada hakim GS dan SD pada akhir mei 2023 lalu.

Padahal kode etik advokat menegaskanpada bahwa advokat dilarang untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat advokat serta advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi yang terhormat.

Bila berkiprah pada kode etik tersebut sudah barang tentu bahwa perilaku PMKH yang dilakukan oleh oknum advokat merupakan pelanggaran terhadap dua kode etik yang disebut diatas.

Konsekuensi dan Gagasan Penegakan Etika Advokat

Konsekuensi Advokat yang melakukan PMKH kepada hakim dalam hal ini memberikan suap, secara praktik akan disidang layaknya terdakwa pelaku tindak pidana suap. namun sanksi etik dari organisasi profesi advokat sudah memberikan sanksi tegas kepada anggotanya yang melakukan suap organisasi profesi advokat memberikan sanksi berupa pemberhentian anggotanya bila melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 4 tahun. Namun, kekurangannya dalam ketika advokat melakukan tindakan PMKH yang sifatnya personal seperti melakukan penyerangan terhadap hakim, tidak mengindahkan panggilan sidang, atau hal-hal lainnya ini belum memiliki konsekuensi etik yang tegas oleh organisasi profesi advokat. Tentu ini harus menjadi perhatian khusus bagi organisasi profesi advokat untuk mempersiapkan langkah preventif dan represif bila ada anggotanya yang melakukan PMKH. (pendayagunaan kode etik advokat agar peristiwa peristiwa ini tidak terulang).

Baca Juga :  Kebijakan Pemerintah dan Politisasi Dunia Pendidikan

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu diimplementasikan pertama bahwa organisasi advokat harus memberikan edukasi pada saat pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) berupa pemahaman terhadap PMKH yang sifatnya mengadvokasi hakim dari PMKH, kedua bila terjadi PMKH yang dilakukan oleh advokat, maka organisasi advokat harus memberikan sanksi etik baik berupa teguran lisan, teguran tertulis ataupun sanksi etik lainnya, karena hal ini bertujuan selain menjaga marwah peradilan tapi juga menjaga citra advokat secara keseluruhan. Seperti dikatakan Satjipto Rahardjo, “searching order, finding disorder,” yakni mencari keteraturan dalam menghadapi kekacauan, adalah esensi dari upaya ini.

Dengan melaksanakan langkah-langkah tersebut, diharapkan kualitas peradilan dapat terjaga dan fungsi hakim sebagai penegak hukum dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, demi kepentingan masyarakat dan keadilan yang hakiki.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Univeraitas Sriwijaya

Komentar