SWARAID, BANYUASIN: Peningkatan angka stunting di Kabupaten Banyuasin membuat pemerintah daerah harus lebih ekstra lagi dalam penanganannya.
Menanggapi hal tersebut, 2 dinas yang bersentuhan langsung dalam menangani permasalahan stunting, yakni Dinas Kesehatan dan DP2AP3KB Banyuasin memberikan penjelasan.
Dinas Kesehatan Banyuasin melalui, Pengawas Kesehatan Keluarga Dan Gizi, Wardiah, SKM., M. Kes mengungkapkan bahwa sesuai peraturan Kemenkes No. 2 tahun 2020 tentang standar antropometri anak, yaitu terdapat standar yang harus dipenuhi seorang anak agar masuk kedalam kategori normal apabila tinggi dan berat badan dalam kondisi normal, serta memiliki status gizi yang baik.
Untuk stunting sendiri itu di Permenkes dengan menggunakan indikator Kemenkes dan juga berdasarkan grafik jezscore WHO menjelaskan bahwa, seorang anak yang tinggi badannya tidak sesuai dengan umur anak seusianya maka dapat disebut stunting.
“Yang kita lakukan selama ini yang telah kita lakukan sejak lama menyebutkan bahwa kalau anak tinggi badannya sudah tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan untuk anak seusianya itu sudah disebut stunting, yang disebabkan oleh gagal tumbuh karena kekurangan zat gizi dalam jangka waktu lama berbeda dengan anak yang pendek karena faktor keturunan,” kata Wardiah, di Ruang Kerja Dinkes Banyuasin, Senin (6/3/23).
Dikatakan Wardiah, bahwa keadaan stunting ini disebabkan kekurangan asupan gizi yang lama, yaitu saat seorang ibu yang masih hamil, dan pada kondisi tersebut sudah terjadi kekurangan gizi, seperti tubuh yang kurus, anemia, hingga akhirnya si bayi yang lahir panjangnya tidak sampai 48 cm.
Dari itu, untuk mengindikasikan kondisi bisa dikatakan stunting atau tidak stunting, maka sudah bisa dimulai di Posyandu.
“Petugas posyandu akan mengukur panjang badan bayi dan balita, langsung diplot di kartu KMSnya, kalau dia sudah dibawah garis minus dua standar deviasi maka sudah disebut stunting dan itu merupakan standar WHO,” terang Wardiah.
“Terkait DP2AP3KB yang mengatakan adanya perbedaan indikator survey dengan indikator yang digunakan oleh Dinas Kesehatan, hingga membuat angka stunting di Kabupaten Banyuasin melonjak, menurut kami bisa saja terjadi perbedaan hasil survey yang diakibatkan hal tersebut, karena mungkin saja di dinas tersebut ada indikator lain, mungkin disertai dengan indikator keterbelakangan mental, atau ada penyakit tertentu barulah dapat dinilai sebagai sunting, sedangkan kalau kita, dan survey yang dilakukan kemarin hanya menggunakan indikator yang diberikan oleh Kemenkes sebagai acuan,” sambung dia.
Faktor penyebab stunting sangat banyak dan yang terlibat dalam penanganannya juga banyak, Wardiah menuturkan, Bappenas telah menyampaikan bahwa intervensi yang dilakukan Puskesmas, Dinkes, dan teman-teman di Desa hanya berkontribusi 30 persen saja, dan 70 persennya adalah dinas lainnya.
“Yang turun survey kemarin adalah tim independen dari Kementerian Kesehatan, turun di 21 kecamatan, ke rumah tangga sampel yang telah ditetapkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), jadi orang-orang tersebut tidak dapat diintervensi, angka survey kita memang naik dari 22 persen ke 24,8 persen. Angka survey ini dengan pertimbangan tadi, mereka menganggap 731 anak yang kemarin disampling itu sudah mewakili. Tapi kita telah melakukan intervensi, selama ini telah melakukan pengukuran pada seluruh anak, makanya terdapat perbedaan angka hasil survey kemarin itu dengan angka hasil yang selama ini kita lakukan rutin, yang dilakukan oleh kader, bidan, petugas gizi puskesmas, setiap bulan melakukan pengukuran selalu beda angkanya, dan itu by name by addresnya ada,” jelasnya.
Menurut Wardiah, sebenarnya intervensi stunting ini paling besar pengaruhnya itu di pencegahan, dan seluruh sektor dinas opd Pemkab Banyuasin berperan serta dalam hal itu.
Dinkes sendiri dalam tahap awal pencegahan stunting telah melakukan upaya, seperti dari remaja putri sudah mulai dilakukan pencegahan anemia, dengan diberikan tablet tambah darah yang diharapkan saat mereka menikah dan menjadi ibu hamil, tidak akan mengalami anemia.
“Seluruh OPD ini ada yang namanya aksi covergency yang sekretariatnya di Dinas KB, itu merangkum seluruh kegiatan di Kabupaten yang melakukan intervensi terhadap penanggulangan stunting di Kabupaten. Yang kita lakukan selama ini ke masyarakat adalah stimulan, seperti memberikan bantuan makanan tambahan, namun kembali lagi ke keluarga yang bersangkutan, bagaimana mereka memenuhi asupan gizi nya setiap harinya,” tuturnya.
Oleh sebab itu, seperti tahun-tahun sebelumnya Dinkes Banyuasin akan lebih meningkatkan percepatan pada upaya pemantauan tumbuh kembang balita dan lebih mengutamakan upaya pencegahan.
“Sebenarnya seluruh program sudah ada, tinggal akan kita maksimalkan kembali. Semoga ditahun 2023 ini dengan kerja yang lebih maksimal, angka stunting di Kabupaten Banyuasin menurun,” pungkas Dia.
Sebelumnya Kepala DP2AP3KB, Dra. Hj. Yosi Zartini, MM mengungkapkan bahwa terjadinya peningkatan angka stunting di Kabupaten Banyuasin dikarenakan sample yang diambil kebanyakan adalah di lokus yang memang kantong-kantong keluarga stunting. Selain itu, melonjaknya angka stunting juga dipengaruhi karena adanya perbedaan indikator saat melakukan penilaian.
“Ternyata indikator yang digunakan yaitu tinggi badan berdasarkan umur, jadi misalkan umur anak tersebut tidak sesuai dengan tinggi badannya akan dikategorikan sebagai stunting, walaupun anak tersebut gizinya baik,” kata Yosi, usai rapat persiapan Harganas 2023 di ruang rapat Wakil Bupati Banyuasin, Senin (27/2/23).
Dalam upaya percepatan penurunan stunting, DP2AP3KB terus meningkatkan koordinasi dengan kader di desa-desa, yakni TPK (Tim Pendamping Keluarga) beresiko stunting. Dan terus melakukan sinergi bersama OPD lainnya dengan harapan angka stunting di Kabupaten Banyuasin segera turun.
“Jadi di desa kami tempatkan para pendamping untuk mendampingi para calon pengantin, ibu hamil, ibu bersalin, ibu Baduta dan Balita, sebagai langkah awal pencegahan resiko stunting,” ungkapnya.
Komentar