SWARAID, JAKARTA: Guna mendongkrak nilai tambah ekspor mineral untuk mendongkrak perekonomian nasional, pemerintah berencana menerapkan kebijakan larangan ekspor tembaga dan mineral lainnya pada Juni 2023.
Namun mempertimbangkan belum rampungnya proyek smelter tembaga yang sedang digarap oleh dua perusahaan produsen tembaga terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, pemerintah akhirnya menunda penerapan kebijakan ini.
Dengan demikian, kedua perusahaan tersebut bisa tetap mengekspor konsentrat tembaga hingga pertengahan 2024.
Diterangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, kebijakan pelonggaran ekspor tembaga itu tidak melanggar peraturan perundangan.
Larangan ekspor konsentrat tembaga diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). UU Minerba mewajibkan perusahaan membangun hilirisasi di dalam negeri setelah tiga tahun UU terbit.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa progres smelter PTFI dan Amman Mineral terkendala kondisi pandemi Covid-19. Dengan smelter yang belum siap, larangan ekspor akan membuat ribuan ton bijih dan konsentrat tembaga tak terserap.
“Kita tahu bahwa dalam pembangunan smelter itu terkendala, ada pandemi yang menjadi bahan konsiderasi kami,” kata Arifin di Istana Kepresidenan, Jumat (28/4/23).
Arifin menjelaskan pembangunan smelter di Freeport tertunda lantaran Jepang menerapkan lockdown selama pandemi. Alhasil, pekerjaan rekayasa atau engineering smelter milik Freeport tertunda.
Di samping itu, Arifin menyampaikan status tenaga kerja di Freeport Indonesia dan Amman Mineral menjadi pertimbangan relaksasi tersebut.
Pelarangan ekspor konsentrat tembaga dapat mengancam ribuan tenaga kerja di konstruksi dan tambang terkena PHK.
“Kami angkat juga isu-isu kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan disitu juga partnership antara Indonesia dengan Freeport,” kata Arifin.
Dua perusahaan eksportir bijih tembaga dan konsentrat tembaga, Freeport Indonesia dan Amman Mineral, diarahkan membangun fasilitas pemurnian atau smelter agar bisa mengekspor tembaga. Smelter keduanya ditargetkan rampung pada tahun ini.
Arifin mencatat penyaluran investasi Freeport ke smelter tersebut masih berjalan normal. Hal tersebut membuat realisasi pencairan dana investasi smelter lebih tinggi dari progres konstruksi smelter itu sendiri.
Maka dari itu pemerintah memutuskan untuk memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga dua perusahaan itu hingga Mei 2024.
Termin waktu tersebut juga menjadi deadline bagi PTFI dan Amman Mineral untuk menyelesaikan proyek smelternya.
Menurut data Survei Geologi Amerika Serikat atau United States Geological Survey (USGS), total produksi smelter tembaga di seluruh dunia mencapai 25,3 juta ton pada 2021, dan diestimasikan naik menjadi 26 juta ton pada 2022.
Adapun Cina berada di urutan teratas dengan total produksi hasil olahan tembaga mencapai 10,5 juta ton pada 2021 dan diestimasikan naik menjadi 11 juta ton pada 2022. Cina adalah negara pengkonsumsi tembaga terbesar di dunia, dengan 80% kebutuhannya dipenuhi dari impor, terutama dari Peru dan Chile.
Permintaan tembaga Cina pun diperkirakan tumbuh lebih cepat tahun ini seiring dengan meningkatnya investasi pada sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik. Menurut lembaga riset yang didukung pemerintah Cina, Minmetals Economic Research Institute (MERI), konsumsi tembaga Cina diramal naik menjadi 110 ribu-120 ribu ton.
“Seiring permintaan tembaga dari sektor energi terbarukan di luar dugaan, permintaan tembaga di Cina masih kuat, bahkan terus naik,” ujar kepala peneliti MERI, Zuo Geng, seperti dikutip dari Economic Times India pada Jumat (28/4/23).
Berikut daftar negara dengan produksi olahan tembaga terbesar di dunia:
Lalu di mana posisi Indonesia? Menurut data USGS produksi olahan tembaga Indonesia pada 2021 mencapai 290 ribu ton, terbesar ke-15 di dunia di bawah Meksiko di urutan 11 (473 ribu ton), Australia di urutan 12 (385 ribu ton), Zambia urutan 13 (354 ribu ton), dan Peru urutan 14 (336 ribu ton).
Komentar