2 Januari 2025 - 11:51 WIB | Dibaca : 372 kali

Mahkamah Konstitusi Hapus Persyaratan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Laporan : Riski
Editor : Noviani Dwi Putri

Swara.id | Jakarta – Berlangsung di ruang sidang Gedung MK, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres, Kamis (2/01/24).

Perkara tersebut diajukan oleh Enika Maya Oktavia. Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon juga menyatakan Presidential Threshold pada pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo.

Adapun norma yang diujikan oleh para pemohon adalah Pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, yang menyatakan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sambungnya.

Baca Juga :  Tak Hanya Pesawat, Tes PCR akan Jadi Syarat Wajib di Semua Moda Transportasi

“Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” sambungnya.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.

“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Saldi mengatakan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua pasangan calon, jika terus mempertahankan ketentuan ambang batas dalam pengusulan pasangan calon. Padahal, kata dia, pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ujar dia. “Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” sambungnya.

Baca Juga :  Jember Diguncang Gempa M5,1 Belasan Rumah Rusak

Saldi menyampaikan pasangan capres dan cawapres dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu. Saldi pun menyampaikan usai lima kali Pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan ambang batas sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.

“Terlebih terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” paparnya.

MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.

“Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tuturnya. “Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” imbuh Saldi.

Baca Juga :  Deklarasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia, Jajang: Berbeda dari "Organisasi Sebelah"

Komentar