12 Oktober 2023 - 01:34 WIB | Dibaca : 479 kali

Kritik Demi Kritik Jelang Pembacaan Putusan MK Batas Usia Capres – Cawapres

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

Swara.id | Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan dari 12 perkara uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait batas usia capres dan cawapres pada Senin (16/10/23).

“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” demikian bunyi pasal yang diuji materikan tersebut.

Gugatan pertama terhadap aturan ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang teregistrasi pada 16 Maret 2023 dengan nomor 29/PUU-XXI/2023. Lalu, gugatan kedua diajukan oleh Partai Garuda pada 9 Mei 2023 yang teregistrasi dengan nomor 51/PUU-XXI/2023.

Gugatan selanjutnya diajukan oleh lima kepala daerah yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra pada 17 Mei 2023 dengan nomor 55/PUU-XXI/2023.

Petitum para pemohon perkara ini pun beragam. Ada yang meminta MK menurunkan syarat usia minimal capres-cawapres menjadi kurang dari 40 tahun, seperti yang diajukan oleh PSI yang meminta usia minimal menjadi 35 tahun.

Ada pula yang meminta syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 30 tahun, 25 tahun, bahkan 21 tahun dengan alasan disamakan dengan usia minimal calon anggota legislatif. Selain itu, ada pemohon yang meminta MK menetapkan batas maksimal usia capres-cawapres 65 tahun atau 70 tahun. Pemohon lainnya meminta MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asal sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah. Petitum ini dimohonkan oleh Partai Garuda dan lima kepala daerah.

Baca Juga :  Siapa yang Didukung Jokowi Sebagai Capres adalah Pada Siapa Jokowi Percaya Menjaga Keluarganya

Bila dihitung sejak gugatan pertama diajukan, proses uji materi terhadap syarat usia capres-cawapres telah berlangsung hampir 7 bulan.

Permohonan uji materi ini dikaitkan dengan digadang-gadangnya Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang. Pasalnya, usia Gibran masih 36 tahun.

Dalam salah satu persidangan perkara, Hakim Konstitusi Suhartoyo bahkan sempat mempertanyakan mengapa bukan Gibran yang mengajukan permohonan batas usia minimal capres-cawapres.

Menjelang putusan, suara-suara kritik pun datang satu persatu. Beberapa diantaranya;

Mahfud MD

Menko Polhukam sekaligus Mahfud MD menilai MK tidak berwenang mengubah aturan terkait batas usia capres-cawapres.

Mahfud mengatakan UU Pemilu hanya boleh diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator. Menurut Mahfud, aturan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. MK yang berstatus negative legislator tak bisa menambahkan aturan baru itu ke undang-undang.

“Kalau hanya orang tidak suka dan sebagainya, ‘Oh, itu tidak pantas,’ tetapi tidak dilarang oleh konstitusi, MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi,” kata Mahfud di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/9/23) mengutip CNNIndonesia.com.

MK, kata Mahfud, sebagai negative legislator, memiliki wewenang yang terbatas pada membatalkan aturan di undang-undang yang tak sesuai Undang-Undang Dasar. Ia berharap jika MK tetap memutus syarat usia capres-cawapres menjadi 35 tahun, MK harus beri penjelasan yang lengkap.

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia

Senada Mahfud, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan MK akan menjadi tidak konsisten jika tetap memutus perkara tersebut. Hal itu berkaitan dengan putusan-putusan MK yang terkait open legal policy.

Baca Juga :  Pertalite, Solar, Pertamax Resmi Naik, Berlaku Mulai Hari Ini

“MK akan jadi tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya juga. Dan ini artinya MK akan membuat dirinya jadi terlalu politis (tidak lagi seperti lembaga yudikatif) dan mengurangi legitimasinya sebagai lembaga yudikatif,” jelas Bivitri.

Ia juga kembali mengingatkan batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden jelas bukan isu konstitusional. Ia menilai perkara usia ini mestinya berada pada wilayah pembentukan undang-undang.

Mengingat isu politik yang sangat kuat dalam perkara a quo, bila memang ada perubahan yang dianggap penting oleh Mahkamah, maka perubahan itu harus dilakukan setelah Pemilu 2024 dan oleh pembentuk undang-undang,” demikian Bivitri.

Pakar Tata Negara

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan MK tidak berwenang mengadili permohonan terkait batas usia capres-cawapres.

“Bukan kewenangan jadi tidak dapat diterima (N.O atau Niet Ontvankelijke Verklaard),” ujar Feri.

Feri menilai syarat-syarat pemilihan Presiden itu jelas termasuk open legal policy karena syarat-syarat menjadi presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.

“Itu sebabnya MK tidak bisa membantah prinsip yang dia buat sendiri. Kalau dia bantah, tentu akan ada orang yang berpendapat bahwa ini berkaitan dengan konflik kepentingan tertentu dalam materi yang sedang diuji,” jelas Feri.

“Apalagi jika dikaitkan dengan relasi antara Ketua MK dan orang yang terdampak dengan proses pengujian ini, yaitu anak Presiden Joko Widodo,” imbuhnya.

Setara Institute

Setara Institute menyatakan MK akan menjadi penopang dinasti Jokowi apabila putusannya pada permohonan batas usia minimal capres-cawapres membuka peluang Gibran maju di Pilpres 2024.

Baca Juga :  Wagub: Pemprov Sumsel Sinergi dengan Pemerintah Pusat Tuntaskan Berbagai Isu Nasional

“MK akan menjadi penopang dinasti Jokowi, jika karena putusannya, Gibran bisa berlaga dan memenangi Pilpres. Ini adalah cara politik terburuk yang dijalankan oleh penguasa dari semua Presiden yang pernah menjabat,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Jakarta, Hendardi.

Dalam kesempatan itu, Hendardi mengatakan perkara uji materiil ketentuan batas usia capres-cawapres di MK memasuki episode kritis dan membahayakan karena bukan demi hak konstitusional warga, melainkan melanggengkan kekuasaan Jokowi dan keluarga.

Sebab, tak hanya mempermasalahkan batas usia, ada pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan bahwa syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/wali kota.

Hendardi menilai semua elemen harus mengingatkan dan mengawal MK agar tidak menjadi instrumen penopang dinasti Jokowi.

PKS

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Zainuddin Paru mengingatkan bahwa MK tak berwenang untuk mengubah aturan batas usia capres-cawapres. Zainuddin mengatakan kewenangan untuk mengubah batas usia capres berada di tangan DPR RI karena termasuk open legal policy.

“Batas usia capres/cawapres pada prinsipnya adalah open pegal policy, yang menjadi kewenangan pembuat Undang-Undang (DPR). Bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” ujar Zainuddin.

Zainuddin menegaskan sosok capres atau cawapres tidak dilihat semata-mata soal usia maupun kepentingan pribadi, dinasti, oligarki ataupun relawan.

Menurut dia, capres dan cawapres yang maju Pilpres mesti memiliki kepatutan dan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Karenanya, Zainuddin mengingatkan agar lebih mengutamakan kepentingan negara dan bangsa. Ia juga meminta Mahkamah Konstitusi tetap menjaga muruah dan melaksanakan kewenangan yang ditentukan ditentukan oleh aturan yang ada.

Komentar