11 Februari 2022 - 11:49 WIB | Dibaca : 818 kali

Ketua DPC Sarbumusi OKI Kritisi Pemerintah yang Tak Fasilitasi Pengaturan UMSK OKI

Laporan : Diaz
Editor : Noviani Dwi Putri

SWARAID, OKI: Kendati Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) pada UU Cipta Kerja tidak dimuat pada PP No 36 Tahun 2021 dimana aturan pengupahan di setiap daerah hanya mengacu pada nilai UMP ataupun UMK.

Meski begitu, UMSK masih berlaku sepanjang besarannya masih di atas UMP ataupun UMK. Dengan artian selagi masih di atas angka UMP dan UMK pejabat daerah, maka UMSK tidak perlu lagi dan para pengusaha wajib membayarkan itu dengan nilai tidak dibawah UMP/UMK.

Hal itu yang kemudian menjadi sorotan dari Ketua DPC Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Adi Wijaya.

Diterangkan Adi Wijaya, hingga kini pemerintah daerah, baik Pemkab OKI ataupun Pemprov Sumsel belum ada gerakan untuk memfasilitasi pengaturan UMSK OKI.

Padahal Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan salah satu daerah di Sumsel yang memiliki cukup banyak perusahaan besar yang sangat berkontribusi terhadap PAD kabupaten OKI itu sendiri, khususnya di sektor industrial perkebunan kelapa sawit dan memiliki ribuan pekerja/buruh.

Baca Juga :  Pemkab OKI Terima 150 Mahasiswa KKN Universitas PGRI Palembang

“Kalau sampai sekarang sepengatahuan saya kebijakan pengupahan pada kabupaten OKI masih berkiblat dengan UMP Provinsi,” kata Adi.

Untuk diketahui, terakhir Gubernur Sumsel Herman Deru telah menandatangani kebijakan besaran upah minimum provinsi untuk tahun 2022 tidak mengalami kenaikan, yang artinya secara umum UMP Sumsel di tahun 2022 sebesar Rp 3.14 juta.

Sementara menurut Adi, kebijakan UMP dihitung berdasarkan hitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja di Sumsel.

Tentu hal itu sangat berat bila harus diterapkan pada perkebunan yang berada jauh dari akses mudah.

“Padahal OKI Memiliki ribuan buruh yang bekerja di perusahaan pada sektor perkebunan, harusnya Pemkab ada gerakan untuk memfasilitasi UMSK dan tidak hanya berkiblat pada kebijakan UMP.”

Adi Wijaya menilai pemerintah tidak serius mengurus permasalahan buruh,

“Dengan tidak adanya UMSK hingga saat ini, jadi kita menilai pemerintah tidak serius mengurus permasalahan buruh, karena dengan penetapan UMSK sebagai bentuk keberpihakan terhadap kaum buruh di Kabupaten OKI,” tukas Adi.

Sebagai catatan, Adi Wijaya menyebutkan perbandingan kebutuhan pekerja buruh di perkebunan sawit di kabupaten OKI sangat berbeda dengan pekerja di sektor lain. Dicontohkan  sembao yang masuk ke areal perkebunan akan lebih mahal harganya dibandingkan dengan yang dijual di pasar.

Baca Juga :  Mitigasi Karhutla di Kabupaten OKI Sumsel

“Harga kebutuhan pokok yang biasanya dijual di pasar kalau masuk perkebunan bisa sangat jauh selisihnya, dari segi itu saja berbeda. Hal ini dikarenakan akses yang harus dijangkau oleh para pedagang, baik pedagang keliling maupun warung setempat. Kalau tidak dibantu dengan aturan UMSK akan jadi permasalahan dalam kemaslahatan kaum buruh OKI,” tegas Adi Wijaya.

Komentar