18 Maret 2022 - 15:58 WIB | Dibaca : 1,463 kali

Pengelolah Sampah Menjadi Energi Listrik Dengan Thermal Merupakan Solusi Lingkungan

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

Penulis: Egi Saputra*)

“Saat hidup sehat merupakan keuntungan terbesar, maka menghilangkan sampah dengan sistem pembakaran berteknologi ramah lingkungan adalah kuncinya”

SWARAID, PALEMBANG: Pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan energi terbarukan, salah satunya dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Upaya mempercepat pembangunan PLTSa dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Pembangunan pengelo¬laan sampah yang dilakukan dengan baik dan benar saat ini hanya 49,18%. Sisanya yang 50,82%, sampah langsung dibuang ke lingkungan 18,02% dan ditangani di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) open dumping 32,8%.

Praktik ini menyebabkan gangguan pada kehidupan masyarakat, karena sampah merupakan salah satu penyumbang Gas Rumah Kaca (GRK), GRK dihasilkan dari emisi karbondioksida (CO2) dan gas meta-na (CH4) yang berasal dari sampah yang bertumpuk di TPA.

Tahun 2007 emisi GRK sektor persampahan tercatat 83,933 ribu ton CO2e, di tahun 2017 meningkat menjadi 120,191 ribu ton CO2e (BPS, 2019). Hal ini terjadi karena upaya pengurangan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle) masih kurang dan belum semua TPA menerapkan sanitary landfill.

Data tahun 2016–2017 menunjukkan jumlah kabupaten/kota dengan TPA open dumping sebanyak 167 dari 355 kabupaten/kota di Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS).

Masih tingginya emisi GRK Indonesia, termasuk dari sampah, menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi GRK sebagaimana disebutkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution/NDC (29% tanpa syarat/dengan usaha sendiri dan 41% bersyarat/dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030)

Pengelolah Sampah Menjadi Energi Listrik Dengan Thermal Merupakan Solusi Lingkungan

Pertanyaanya adalah apakah pembangunan PLTSa dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekaligus mengurangi permasalahan lingkungan akibat sampah ditengah pemerintah sedang mempercepat pembangunan energi terbarukan.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

Pemanfaatan sampah untuk menjadi energi Waste to Energy (WtE) sudah banyak dilakukan, salah satunya untuk pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga sampah dikenal sebagai PLTSa.

Teknologi pemanfaatan sampah untuk menghasilkan energi listrik sudah banyak dikembangkan. Secara prinsip, proses sampah diubah menjadi energi listrik dilakukan melalui proses pembakaran langsung (direct combustion) atau pun tidak langsung (melalui proses konversi).

Ada tiga proses konversi sampah menjadi energi:

  1. thermochemical
  2. physicochemical
  3. biochemical

Teknologi yang menggunakan proses konversi thermochemical antara lain: Torrefaction (torefaksi), Plasma treatment, Gasification (gasifikasi), Pyrolysis (pemanasan), dan Liquefaction (pelarutan) yang akan menghasilkan bahan bakar dalam bentuk padat atau cair.

Teknologi yang menggunakan proses konversi physicochemical adalah extraction (ekstraksi), yang nantinya menghasilkan bahan bakar dalam bentuk cair.

Sementara itu, teknologi yang menggunakan proses biochemical, antara lain: fermentation (fermentasi) dan Anaerobic Digestion (AD atau Biodigester) yang menghasilkan bahan bakar dalam bentuk gas.

Bahan bakar inilah yang nantinya digunakan untuk menghasilkan energi panas yang akan menggerak kan turbin generator yang menghasil kan listrik.

Salah satu produk yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi biorefinery adalah refuse derived fuel (RDF), yaitu: bahan bakar yang berasal dari sampah yang mudah terbakar yang diolah melalui proses pencacahan, pengayakan, dan klasifikasi udara.

Pengelolah Sampah Menjadi Energi Listrik Dengan Thermal Merupakan Solusi Lingkungan

Dari berbagai teknologi pemanfaatan sampah untuk energi yang dikembangkan, insinerasi menjadi teknologi yang direkomendasikan untuk pembangkit listrik dibandingkan teknologi lainnya.

Dua Kebijakan Pengembangan PLTSa

Kebijakan pengembangan PLTSa yakni. Pertama, kebijakan pengembangan PLTSa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Selanjutnya kebijakan ini disebut sebagai program percepatan pengembangan PLTSa.

Kedua, kebijakan pengembangan PLTSa berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juncto Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Baca Juga :  Perang Urat Saraf Bjorka

Selanjutnya, kebijakan ini disebut sebagai program reguler pengembangan PLTSa.

Perbedaan prinsip dari kedua program tersebut adalah penggunaan teknologi dalam PLTSa, harga pembelian listrik, dan dukungan pemerintah pusat terhadap pembayaran Tipping Fee atau Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS). Teknologi yang harus diterapkan dalam program percepatan PLTSa adalah teknologi termal, sedangkan untuk program reguler pengembangan PLTSa dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi termal ataupun nontermal.

Pemilihan penggunaan teknologi dalam pengembangan PLTSa ini sejalan dengan strategi pemanfaatan sampah untuk energi seperti yang disebutkan dalam Jakstranas Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017).

Dalam Perpres tersebut pemanfaatan sampah untuk energi dilakukan melalui strategi:

  1. Pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah melalui teknologi termal;
  2. Penangkapan dan pemanfaatan gas metana menjadi sumber energi listrik di TPA;
  3. Pemanfaatan sampah menjadi bahan bakar substitusi industri semen atau RDF;
  4. Penerapan teknologi pemilahan, pengumpulan, pengolahan, dan pemrosesan akhir yang ramah lingkungan menjadi energi terbarukan.

Strategi pertama menjadi dasar program percepatan pengembangan PLTSa. Strategi kedua, ketiga, dan keempat menjadi dasar pengembangan PLTSa program reguler.

Adapun yang melatarbelakangi kebijakan pengembangan PLTSa adalah:

  1. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU (business as usual) di tahun 2030;
  2. Kondisi sampah telah menjadi masalah lingkungan karena menghasilkan karbondioksida (CO2) dan gas metana (CH4);
  3. Sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi lain seperti untuk energi listrik atau menjadi bahan bakar;
  4. Soal keterbatasan lahan dan daya tampung TPA di beberapa daerah yang telah berkembang menjadi kota besar;
  5. Perlu ada upaya untuk mengurangi volume sampah yang tidak terkelola dengan baik;
  6. Melalui pembangunan PLTSa dapat meningkatkan kebersihan dan kesehatan masyarakat. Dimana teknologi termal dipilih dengan pertimbangan dapat mengurangi volume sampah dengan cepat;
  7. PLTSa dengan teknologi termal dapat diimplementasikan di seluruh daerah dengan volume sampah yang besar dan yang mengalami darurat sampah;
  8. Pemerintah sedang berupaya untuk mengurangi penggunaan energi fosil pada pembangkit listrik dan menambah ketersediaan pasokan listrik nasional;

Pengelolah Sampah Menjadi Energi Listrik Dengan Thermal Merupakan Solusi Lingkungan

Besarnya perhatian pemerintah pusat terhadap program percepatan pengembangan PLTSa diharapkan segera mewujudkan pembangunan PLTSa di 12 daerah.

Adanya dukungan dana Tipping Fee maksimal 49% dari besaran biaya Tipping Fee yang disepakati antara pengembang PLTSa dengan pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi beban APBD.

Selain itu, adanya kepastian listrik dibeli oleh PLN dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga listrik pembangkit lainnya diharapkan menjadikan PLTSa program percepatan menarik bagi investor.

Bahkan, harga beli listrik program percepatan dihargai lebih tinggi dibandingkan harga beli listrik PLTSa program reguler.

Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) Di Kota Palembang

Adanya perbedaan terminologi dalam pengembangan PLTSa antara Kementerian ESDM dan KLHK. Kementerian ESDM menggunakan istilah PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), sedangkan KLHK menggunakan istilah PSEL (Pengolah Sampah Energi Listrik).

PLTSa lebih dimaknai sebagai pembangkit listrik, sedangkan PSEL dimaknai sebagai instalasi pengolah sampah.

Ketika PLTSa dimaknai sebagai pembangkit listrik, maka kebijakannya akan lebih diarahkan sebagaimana pembangkit listrik lainnya, yang lebih memperhitungkan berapa besar listrik yang dihasilkan.

Regulasi yang diterapkan pun disejajarkan dengan regulasi pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, dalam hal ini, listrik dari sampah masuk dalam kategori energi terbarukan.

Baca Juga :  Importasi Bahan Baku Obat Penyebab Gagal Ginjal Masuk dalam Lartas

Menjadi berbeda maknanya ketika digunakan istilah PSEL, instalasi PSEL merupakan bagian dalam proses pengelolaan sampah, dimana energi listrik yang dihasilkan dalam proses pengelolaan sampah adalah bonus dari upaya untuk mengurangi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah.

Untuk itu mengapa dalam program percepatan pengembangan PLTSa diarahkan untuk daerah-daerah dengan kondisi darurat sampah.

Diharapkan melalui pembangunan PLTSa dengan teknologi termal, sampah kota dapat direduksi lalu penempatan pembangunan PLTSa di daerah surplus listrik seharusnya tidak menjadi kendala ketika pemerintah daerah mempunyai komitmen yang kuat untuk mereduksi sampahnya.

Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di kota Palembang salah satu dari kota yang masuk kedalam percepatan pembangunan PSEL melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 karena berpotensi besar terhadap ledakan masalah sampah kedepannya.

Dalam hal teknologi termalnya PSEL kota Palembang menggunakan teknologi termal Stocker Moving Grate (SMG) dibandingkan Circulating Fluidized Bed (CFB) karena berdasarkan hasil kajian yang dilakukan ahli dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung menjelaskan

  1. Pada aspek teknologi, PLTSa teknologi Stocker Moving Grate (SMG) memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknologi Circulating Fluidized Bed (CFB) pada parameter spesifikasi teknik, pengoperasian, lahan, dan tenaga kerja. Sementara pada spesifikasi polutan kedua teknologi dapat memenuhi standar emisi terhadap lingkungan sehingga skor pada parameter ini seimbang.
  2. Pada aspek finansial, PLTSa dengan teknologi Stocker Moving Grate dengan tarif USD 13.35 cent/kWh, Biaya Layanan Pengolahan Sampah USD 22/ton sampah, dan masa kontrak 20 tahun merupakan opsi terbaik dibanding yang lain. NPV pada akhir kontrak opsi ini sebesar USD 44,856,188, IRR sebesar 9.93%, dan payback period pada jangka waktu 9 tahun 9 bulan.
  3. SMG dan CFB adalah teknologi termal dengan perbedaan pada pre-treatment. Pada CFB, di perlukan tambahan mesin pengering sampah saat berada di bunker yang secara cost akan menambah biaya mesin dan tenaga kerja yang selanjutnya akan membebani biaya investasi.

Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Palembang dengan PT. Indo Green Power (pemenang seleksi pengelolaan sampah secara termal Kota Palembang pada November 2017) yang dilakukan pada Maret 2022, memiliki beberapa kesepakatan seperti skema kontrak BOO dan lama PJBL durasi 20 tahun.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berbasiskan Pengolah Sampah Energi Listrik (PSEL) dengan menggunakan teknologi thermal atau incinerasi Stocker Moving Grate (SMG) akan mampu menggurangi sampah di TPA sampai dengan 85%.

Hal ini akan menjadi jalan keluar Kota Palembang terhadap potensi ledakan sampah yang terjadi kedepan nya ditengah kondisi lahan TPA yang akan semakin susah didapat, mengingat dengan jumlah populasi kota Palembang pada tahun 2021 menurut BPS Provinsi Sumsel adalah sebesar 1,6 juta jiwa atau 19,71 persen dari total penduduk Sumsel.

Jika menggunakan rumusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kg perhari maka dapat diprediksi jumlah sampah kota Palembang secara bertahap akan mencapai 1.088 ton perhari nya, setelah susut pada pemilahan sampah, ketidakdispilinan pembuangan sampah dan kemampuan sarana prasarana dinas terkait sebesar 25 % maka tumpukan sampah di TPA kota Palembang setiap harinya sekitar 816 ton atau 24.480 ton per bulan dan 293.760 ton per tahun.

Perjanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Palembang dengan PT. Indo Green Power pada bulan Maret 2022 di hadapan menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, tidak hanya sekedar menjalankan peraturan akan tetapi juga memberikan keuntungan terbesar bagi masyarakat kota Palembang yaitu syarat hidup yang sehat berupa udara yang tidak tercemar dan dipenuhi oleh karbondioksida (CO2) dan gas metana (CH4) yang berasal dari sampah yang tertumpuk di TPA, sebagaimana pepatah “sehat itu mahal karena harga berobat itu tinggi”.

Baca Juga :  Peringati Hari Bakti Rimbawan ke-41, Plh Sekda Edward Candra Tanam 400 Bibit Pohon

Sebuah keuntungan tidak hanya secara harpiah bicara soal uang, tapi investasi terpenting bagi kehidupan seperti kesehatan adalah juga syarat utama untuk dapat hidup panjang dalam mencari uang.

Penghasil Listrik Sekaligus Solusi Permasalahan Lingkungan

PLTSa adalah salah satu pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, seperti panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjun-an air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Pemanfaatan sampah untuk energi listrik dalam perkembangan pembangkit listrik energi terbarukan sudah lama dilakukan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen Gatrik KESDM), pemanfaatan sampah untuk energi listrik sudah dilakukan sejak tahun 2014. Kapasitas terpasang PLTSa di tahun 2014 adalah 14,00 MW, di mana kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional di tahun yang sama secara keseluruhan pembangkit adalah 50,417 GW.

Hingga tahun 2018, kapasitas terpasang PLTSa tidak mengalami peningkatan signifikan, hanya 0,02% dari keseluruhan pembangkit listrik yang terbangun sebesar 64,92 GW (Ditjen Gatrik KESDM, 2019: 7–8).

Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan lainnya, sumbangan listrik yang diberikan PLTSa tidaklah terlalu besar.

Bahkan, penambahan kapasitasnya cenderung tidak ada peningkatan. Sumbangan PLTSa untuk listrik nasional pun kecil sehingga PLTSa bisa dikatakan sulit jika diharapkan untuk membantu pencapaian target 23% bauran pembangkitan dari energi terbarukan pada tahun 2025.

Akan tetapi PLTSa dengan teknologi termal telah terbukti dapat mengurangi timbulan sampah dan tidak berdampak terhadap lingkungan.

Bahkan, teknologi insinerasi mampu mereduksi sampah hingga 1.300 ton per hari, jauh lebih tinggi jika dibanding teknologi termal lainnya. Teknologi pirolisis kapasitas sampah yang tereduksi hanya 70–270 ton per hari dan gasifikasi 900 ton per hari The International Solid Waste Association (ISWA)

Beberapa negara yang telah berhasil mengurangi sampahnya dengan membangun PLTSa termal, antara lain: Eropa, Amerika Utara, Singapura, dan Jepang.

Pembangkit yang paling banyak digunakan adalah PLTSa termal insinerasi, yaitu lebih dari 1.000 pembangkit sudah dibangun di dunia.

Sementara PLTSa termal dengan teknologi gasifikasi kurang dari 150 pembangkit, dan PLTSa termal dengan teknologi pirolisis kurang dari 10 pembangkit. Oleh karena itu, PLTSa termal lebih tepat menjadi solusi instan bagi kota-kota besar dengan produksi sampah di atas 1.000 ton per hari dan mengalami kesulitan dalam menyediakan lahan untuk TPA.

Untuk jangka panjangnya, upaya mereduksi sampah melalui 3R (reduce, reuse, dan recycle) tetap harus dilakukan. Mengingat pemilahan sampah juga sangat diperlukan dalam pengoperasian PLTSa. Pemilahan sampah dapat mengoptimalkan energi listrik yang dihasilkan dari PLTSa.

Pembangunan PLTSa sesungguhnya memberikan mutual benefit bagi PLN dan pemerintah daerah. Bagi PLN, penggunaan energi sampah akan memperbesar bauran EBT PLN, yang ditargetkan mencapai 23% pada 2025, serta ikut berkontribusi dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.

Sedangkan bagi pemerintah daerah, pengembangan PLTsa akan mengatasi permasalahan sampah di daerah, sehingga mencipatkan lingkungan kota yang bersih dan sehat.

*)Ketua Pusat Studi dan Informasi untuk Demokrasi (PSID)

Komentar