10 Oktober 2021 - 04:38 WIB | Dibaca : 871 kali

Jaga Bumi! Upaya Kaum Z dan Milenial Indonesia Melawan Perubahan Iklim

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

SWARAID-JAKARTA, (10/10/2021): Suhu udara yang makin panas, musim hujan dan kemarau yang tidak lagi menentu, serta cuaca ekstrem seperti hujan badai yang belum pernah terjadi sebelumnya sudah melanda Indonesia.
Masalah-masalah itu, yang diyakini sebagai dampak perubahan iklim, mulai gencar disuarakan kaum muda Indonesia.

Mereka adalah generasi Z (8-23 tahun) dan kelompok umur milenial (24-39 tahun) yang kini mendominasi 270 juta lebih populasi di negeri ini, ungkap Biro Pusat Statistik dari hasil Sensus Penduduk 2020.
Lima orang dari dua kelompok muda itu baru-baru ini berbincang dengan BBC Indonesia.

Mereka mungkin tidak saling kenal dan dari beragam latar belakang, namun menyuarakan keresahan yang sama: perubahan iklim sudah menjadi krisis. Dan itu, kata mereka, terkait erat dengan pola hidup atau kegiatan manusia yang telah mencemari lingkungan.

Tapi mereka bertekad tidak mau tinggal diam, apalagi pasrah melihat perubahan iklim akan merusak masa depan. Solusi pun mereka tawarkan, dengan kreativitas masing-masing, tinggal bagaimana dijalankan oleh banyak orang.
Ada yang gencar menyuarakan lewat media sosial, blog pribadi, membuat video hingga bersuara di forum internasional. Inilah ikhtiar mereka melawan perubahan iklim.

Aulia Salsabella dan Putri Risa: Sampah laut sudah membahayakan

Walau sama-sama berkuliah di Institut Teknologi Bandung, dua perempuan ini awalnya tidak mengenal satu sama lain karena berbeda program studi.
Mereka baru bertemu di semester 4 saat mengikuti program ekspedisi ke suatu pulau di Madura, Jawa Timur, pada 2019.

“Kami waktu itu mengunjungi Pulau Pagerungan Kecil, Kepulauan Kangean. Selama tiga minggu kami tinggal bersama masyarakat setempat,” ungkap Bella, 22 tahun, panggilan akrab Aulia.

Di sana, Bella mendengar masalah yang diutarakan warga setemmpat. Mereka bercerita bahwa garis pantai di pulau itu semakin mundur dan permukaan air laut makin tinggi.

“Maka, pulau yang mereka tempati yang sudah kecil itu jadi mengecil. Rumah-rumah mereka pun terpaksa makin mundur karena permukaan air laut yang semakin tinggi,” ujar Bella, yang tahun ini lulus kuliah S-1 di jurusan oseanografi ITB.

Tidak hanya itu, saat berenang dengan snorkel di laut setempat, Bella dan teman-temannya melihat banyak terumbu karang di bawah laut mengalami pemutihan atau coral bleaching.

Ini salah satu dampak dari perubahan iklim, karena ketika suhu air laut itu semakin tinggi kemudian zooxanthella yang menempel di terumbu karang jadi tidak betah dan pergi sehingga menyebabkan terumbu karang itu berada di ujung kematian.

“Itu yang membuat kami jadi sadar bahwa bila kita amati lebih teliti lagi, pengaruh perubahan iklim itu sudah ada di sekitar kita,” ujar Bella, yang kini bekerja di kantor suatu kementerian di Jakarta.

Rekannya, Putri Risa, juga berusia 22 tahun, menemukan bahwa perubahan iklim itu sudah mengganggu mata pencaharian penduduk sebagai nelayan.
Mereka selama ini memakai cara konvensional dengan melihat arah mata angin, hujan atau tidak, biasanya hal itu bisa mereka tentukan.

“Tapi akhir-akhir ini menurut masyarakat nelayan di sana, sekarang sudah tidak bisa ditentukan. Tadinya diperkirakan cuaca panas, tapi berubah jadi hujan badai. Itu merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat,” ujar Putri, yang meraih gelar S-1 di jurusan biologi ITB.
Sejak itu, mereka yakin bahwa perubahan iklim sudah bukan lagi isu yang elitis, jauh mengawang-awang, namun sudah nampak di depan mata.

Walau di satu sisi dianggap sebagai fenomena alam, perubahan iklim ini diperparah oleh kegiatan antropogenik, atau aktivitas pencemaran yang dilakukan manusia. Penyebabnya manusia, tapi yang kena dampaknya adalah manusia juga.

Itu sebabnya Bella dan Putri bersama teman-teman mereka membentuk suatu kelompok bernama Pratisarabumi, yang dalam bahasa sansekerta berarti penjaga atau pelindung bumi.
Mereka aktif mengkampanyekan ancaman perubahan iklim dan bagaimana mengatasinya dengan membuat video-video edukatif yang diunggah ke media sosial.

“Mengingat sekarang semua orang bisa mengakses dan membuat konten media, maka menurut saya cara paling efektif adalah lewat media sosial, misalnya lewat Instagram, TikTok, Twitter dan lain-lain. Pesan yang disampaikan bisa sampai ke kaum muda,” ujar Bella.

Baca Juga :  KLHK : Daur Ulang Sampah Plastik dan Kertas di Indonesia Masih 46 Persen

Salah satu video yang dibuat Bella dan Putri adalah merincikan bagaimana sampah di lautan membahayakan kehidupan alam dan juga rantai makanan.

Ini tak lepas dari bahaya penggunaan mikroplastik – yaitu plastik dengan partikel sangat kecil yang hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop, namun plastik ini dapat ditemukan di benda-benda seperti sabun mandi, deterjen, hingga pakaian.

“Dengan menggunakan sesuatu yang mengandung mikroplastik, kita mengirimkan jutaan partikel plastik ke lautan setiap tahun secara cuma-cuma – dan juga ke dalam rantai makanan kita sendiri,” demikian pesan tayangan video itu.

Video yang mereka buat pun menyarankan bagaimana cara kita dapat mengurangi, menggunakan kembali dan juga mengolah kembali untuk tujuan meminimalkan sampah yang ada.

“Termasuk bagaimana cara kita dapat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan cara memakai tote bag dan membawa botol air minum sendiri,” ujar Bella.

Karya itu mereka ikutkan dalam lomba video bertema perubahan iklim yang diadakan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Inggris, Italia dan Swedia di Jakarta September lalu. Hasilnya, video itu menjadi pemenang pertama.

Bagi Bella dan Putri, menjadi pemenang bukan hal utama yang mereka cari. “Kami melihat ajang ini sebagai platform di mana kami bisa menyampaikan keresahan kami ke publik yang lebih luas.

“Jadi dengan kami ikut lomba dan diunggah ke media sosial berikut menyertakan tagar dari penyelenggara, itu akan sampai ke orang-orang banyak yang selama ini di luar jangkauan kami,” ujar Bella.

Alwi Johan Yogatama: Menyadarkan publik lewat video sampah

Perubahan iklim akibat kegiatan yang mencemari lingkungan juga disorot oleh Alwi Johan Yogatama (20).
Melalui video dokumenter yang dia garap dan produksi sendiri, mahasiswa semester 5 jurusan televisi dan film di Universitas Padjadjaran Bandung itu menunjukkan bahwa sampah yang dihasilkan warga sudah bertumpuk-tumpuk dan baru sedikit yang dapat diolah.

Jangankan di kota-kota besar, fenomena itu sudah terjadi kota tempat tinggi Johan di Temanggung, Jawa Tengah. Dalam videonya, dia mengeksplorasi kehidupan orang-orang yang mendaur ulang limbah rumah tangga di Tempat Pembungan Akhir di Temanggung.

“Karena sampah itu masalah kita semua. Setiap beraktivitas pasti kita memproduksi sampah. dan apa yang ada di sekitar saya sendiri sebagai pembuat film yang paling dekat-dekat itu adalah sampah,” ujar Johan.

Lewat videonya, dia menunjukkan setiap hari 72 pekerja dan pemilah sampah di TPA Temanggung menyelamatkan 6 ton sampah yang dapat didaur ulang dari 100 ton sampah. Sampah-sampah yang dipilah itu bisa dijual ke pengepul untuk diolah kembali.

Dari video dan reportase yang dibuatnya secara langsung itu, Johan mengagumi martabat, kepahlawanan, dan semangat ceria dari mereka yang memilah sampah kita walau dalam kondisi yang sulit.

“Para pemilah sampah ini bisa mengurangi enam ton dari sampah yang masuk ke TPA setiap hari dan itu sungguh luar biasa. Namun masih ada sisa 94 ton, masa menumpuk di situ terus? Jadi di TPA Temanggung sendiri itu tidak kurang 100 ton sampah masuk setiap hari. Belum yang di sungai, di pekarangan dan itu belum terdata,” ujarnya.

Selain di TPA Temanggung, Johan sebelumnya membuat video dokumenter mengenai masalah sampah di sungai. Dia yakin, bila sampah makin menumpuk, tidak saja merusak lingkungan, namun akan menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya dan berpengaruh pada perubahan iklim.

Padahal, lanjutnya, dampak perubahan iklim sebenarnya sudah dirasakan penduduk Temanggung, yang sebagian berporfesi sebagai petani tembakau, yang sangat mengandalkan cuaca cerah untuk menjemur hasil panen mereka. Hujan sedikit saja, tembakau jadi rusak.

Para petani belakangan mengakui cuaca sudah susah diprediksi, lagi cuaca cerah tiba-tiba hujan. Johan menyayangkan, rendahnya pengetahuan banyak warga mengenai perubahan iklim menyebabkan cuaca yang sering tidak menentu dianggap sebagai “nasib.”

“Kalau boleh jujur, mereka masih menganggap ini sebagai, ‘Ya sudah lah, nasib.’ Kalau bahasa lokalnya, ancen tahun iki elek, tahun ini memang lagi jelek. Padahal itu adalah masalah [perubahan] iklim yang sangat kompleks. Tapi mereka masih menganggap ya sudah lah ancen nasib-e kayak gini.”

Baca Juga :  BLT BPJS Ketenagakerjaan Cair November; Dua Bulan Sekaligus, Cek di Sini!

Maka, memberi pendidikan akan perubahan iklim ini baginya sangat penting ditanamkan kepada masyarakat sedini mungkin. Johan pun sangat antusias membantu pemerintah di kotanya untuk membuat video pengenalan masalah lingkungan kepada murid sekolah.

“SD dan SMP kan sudah bisa belajar tatap muka nih, jadi ditayangkan video tutorial pemilahan sampah, kebetulan saya yang bikin dan ditayangkan,” ujarnya.

Videonya mengenai peran pemilah sampah di TPA Temanggung itu dinobatkan sebagai juara ketiga dalam lomba video kaum muda bertema solusi atas perubahan iklim yang diselenggarakan FPCI bersama Kedubes Inggris, Italia, dan Swedia bulan lalu.

Bagi Johan, videonya termasuk dalam deretan pemenang lomba adalah “bonus”. Namun, yang terpenting bagi dia karyanya itu bisa dilihat dan diapresiasi banyak orang.

“Saya merasakan hal yang luar biasa ketika ada orang atau teman-teman yang satu lingkaran [pergaulan] nge-DM saya di Instagram, ‘Wah videonya luar biasa. Aku belum pernah lihat TPA, sekarang tahu kondisi TPA. Wah ternyata ada orang-orang yang turun di TPA memilah-milah sampah,” ujarnya.

Hendra Wijaya: Terkejut industri fesyen penyumbang polusi terbesar kedua

Pria 27 tahun ini menyoroti keterkaitan perubahan iklim dan sampah dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai pembuat konten fesyen, Hendra menekankan bahwa industri tren busana itu sudah menjadi penyumbang polusi kedua terbesar di dunia.

“Ketika saya mencoba mendalami dampak lingkungan dari industri fashion, saya justru terkejut dengan data yang ada, bahwa industri fesyen ternyata berkontribusi pada sepuluh persen emisi karbon di seluruh dunia.
Bahkan sepuluh persen ini melebihi emisi karbon yang dihasilkan oleh industri penerbangan atau pelayaran,” ujarnya.

Contoh lainnya, industri fesyen juga berkontribusi terhadap 20 persen limbah air di seluruh dunia yang ternyata berasal dari pewarnaan bahan pakaian.

“Nah, hal-hal seperti ini memicu saya sebagai content creator di bidang fashion untuk segera ambil bagian dalam aksi untuk meningkatkan keasadaran masyarakat Indonesia tentang kelestarian (sustainability) serta untuk menyelamatkan bumi kita dari perubahan iklim,” lanjut Hendra.

Dia mengaku terinspirasi saat menghadiri sebuah acara pagelaran fesyen dua tahun lalu, menyaksikan secara langsung koleksi para desainer lokal Indonesia yang menggunakan bahan-bahan yang sustainable, ramah lingkungan, dan memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi sebagai bahan koleksi yang baru.

Dari acara itu, dan terutama selama pandemi, Hendra belajar banyak tentang fesyen ramah lingkungan lalu membagikan ilmunya secara daring, baik melalui media sosial maupun blog pribadinya, www.hendrawithjaya.com.
Apalagi akunnya di Instagram, iamhendraw, memiliki 100 ribu pengikut, sehingga apa yang dia sebarkan cukup banyak menjangkau banyak warganet.

“Saya berusaha membagikan ilmu yang telah diperoleh, baik lewat riset sendiri maupun dari platform belajar dan saya membaginya lewat tulisan di blog maupun konten di media sosial dengan harapan masyarakat Indonesia bisa lebih aware tentang sustainable fashion,” ujar Hendra.

Dia menekankan bagaimana kita sebagai pembeli dapat memiliki peran dalam membuat fesyen menjadi lebih berkelanjutan dengan cara berinvestasi dalam membeli pakaian-pakaian yang dapat digunakan dalam jangka waktu lama dan membeli kualitas, bukan kuantitas.

Contohnya, pakaian yang harganya murah mungkin beberapa setelah dicuci sudah luntur atau mudah rusak. Sedangkan brand yang sustainable mungkin harganya 2 atau 3 kali lebih mahal tapi lebih tahan lama.

Hendra juga mengingatkan bahwa pilihan pembeli sangat vital untuk mendorong tindakan lingkungan, karena pelaku bisnis akan peduli jika para pembeli melakukannya.

“Jadi itu tantangan juga bagi para pelaku bisnis di industri fesyen untuk mencari alternatif bahan ramah lingkungan yang harganya terjangkau oleh masyarakat Indonesia,” kata Hendra, yang menjadi juara kedua dalam Kompetisi Video FPCI #Indonesia4Climate berkat video edukasinya mengenai fesyen ramah lingkungan.

Baginya, untuk membuat suatu perubahan yang positif tidak harus menduduki posisi tertentu atau sudah punya status terkenal di masyarakat.

“Tapi bisa kita mulai dari hal-hal kecil, seperti mengedukasi teman atau keluarga lalu perlahan-lahan bisa mengajak mereka untuk ikut terlibat aksi menanggulangi masalah lingkungan ini,” ujar pria yang bercita-cita menjadi wirausaha di bidang fesyen ramah lingkungan itu.

Baca Juga :  Viral Tagihan Listrik 68 Juta ! Begini Penjelasan PLN

Steven Setiawan: Menyuarakan Indonesia di forum internasional

Kaum muda Indonesia tidak hanya giat di media soial dan terjun ke tengah masyarakat mengkampanyekan dampak perubahan iklim. Ada pula yang aktif menyuarakan masalah ini di forum internasional, seperti yang dilakukan oleh Steven Setiawan, 21 tahun.

Pemuda asal Kota Cimahi itu terpilih mewakili Indonesia di pertemuan internasional “Youth4Climate: Driving Ambition” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Italia di Kota Milan 28-30 September 2021. Selain Steven, delegasi kaum muda Indonesia juga diwakili oleh Damayanti Prabasari.

“Dalam pertemuan di Milan, saya terlibat dalam pembahasan masyarakat sadar iklim. Bagaimana kita dari berbagai kalangan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu krisis iklim,” ujar Steven, yang menjadi juru bicara delegasi Indonesia.

Pertemuan di Milan ini memberi kesempatan kepada sekitar 400 anak muda dari 197 negara – termasuk aktivis iklim muda Greta Thunberg – untuk berkumpul dan membahas tindakan mendesak yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim.

Mereka memberi pesan yang singkat dan tegas kepada para pemimpin dunia: kita sudah dilanda krisis iklim, jangan hanya umbar janji, tapi langsung bertindak untuk mengatasinya.

Bagi Steven, kaum muda seperti dirinya yang akan paling terdampak jika dunia gagal menjaga kenaikan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius.

“Siapa sih yang bakal merasakan dampak krisis iklim? Yaitu kita yang masih muda ini. Pilihannya ada pada kita, mau mencoba mengurangi atau ya sudah, let it go, pasrah aja. Ini mah tidak usah diapa-apain. Kita mengalami bencana banjir yang lebih banyak, panas yang lebih banyak, cuaca lebih ekstrem. Saya tidak mau itu dibiarkan terjadi,” ujarnya.

Masalah lingkungan tidak hanya didapat Steven dari referensi dan hasil riset. Semasa kecil, sebagai warga Cimahi, dia punya kenangan yang membekas soal kabar ledakan di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di kotanya pada 2005.

Ledakan di TPA itu mengakibatkan 157 orang tewas dan banyak rumah di sekitar TPA hancur tertimbun sampah.
Setelah diselidiki, tumpukan sampah itu bisa meledak karena kumpulan akumulasi gas metana.

“Kalau terurainya tidak benar, atau sampahnya tercampur, maka akan menghasilkan emisi gas metana yang terkonsentrasi di satu tempat dan terus terkumpul sehingga lama-lama meledak dan itu menimpa rumah-rumah warga di dekat situ,” ujar Steven.

Tragedi TPA Leuwigajah tersebut menimbulkan perasaan yang begitu kuat pada Steven, walau kala itu masih berusia lima tahun.

“Saya tidak mau kejadian itu terulang lagi, gas rumah kaca yang terkumpul dapat menimbulkan korban jiwa dan ini yang membuat saya akhirnya berkomitmen untuk menyuarakan masalah lingkungan sekaligus bergerak untuk mengatasinya.”

Maka, saat masih menjadi mahasiswa jurusan Biologi di ITB, Steven membuat usaha rintisan (start-up) bidang pengelolaan sampah organik eLarvae.

“Konsepnya, kami menerima kiriman sampah organik dari pemulung, lalu kami olah dengan belatung supaya bisa mengurangi emisi gas rumah kaca serta bisa menjadi pakan ternak dan lain-lain.”

Dia pun mengkoordinir program Eco Learning Camp untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengenal isu-isu lingkungan serta mendirikan LSM bernama Baramoeda Indonesia untuk mendidik anak muda terkait isu lingkungan dengan media kreatif.

Steven tahun ini mulai terjun ke bidang advokasi dengan cara kampanye secara langsung maupun secara online, termasuk kampanye mengawal kebijakan yang akan dibawa ke Konferensi COP26.

“Jadi, selain melakukan aksi nyata dengan mendirikan start-up dan membuat program edukasi, saya pun mulai berkecimpung di bidang advokasi mendukung kebijakan yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Menurut Steven, kaum muda percaya perubahan iklim tidak hanya untuk Indonesia, tetapi masalah bagi semua negara.

“Kami tidak menyalahkan siapapun. Ini adalah era kolaborasi, bukan kompetisi. Jadi, mari kita bersatu untuk melawan perubahan iklim dan mengurangi emisi global,” katanya. (bbc.com)

Komentar