25 Desember 2021 - 02:08 WIB | Dibaca : 704 kali

Menuju Netral Karbon, Komitmen Penyelamatan Bumi dari Krisis Iklim

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

SWARAID, JAKARTA : Netral karbon adalah keadaan ketika emisi karbon yang diproduksi manusia terserap kembali sehingga tak sempat menguap ke atmosfer. Istilah lain dari netral karbon adalah Nol-Bersih Emisi alias Net Zero Emission.

Krisis iklim dapat terjadi ketika emisi karbon berubah menjadi emisi gas rumah kaca yang membumbung ke atmosfer.

Ketika gas rumah kaca sampai ke selubung bumi, ia akan bertahan di sana hingga puluhan ribu tahun.

Konsentrasinya yang naik membuat atmosfer kian kehilangan kemampuannya menyerap emisi sehingga karbon itu terpantul kembali ke bumi berupa panas, sehingga bumi terasa seolah sedang berada di dalam rumah kaca

Inilah yang kita kenal dengan sebutan pemanasan global.

Perubahan itu membuat siklus bumi menjadi terganggu karena berdampak pada proses kimia maupun biologi yang mempengaruhi mahluk hidup.

Mengutip laman Forestdigest.com saat ini jumlah emisi global mencapai 51 miliar ton setara CO2.

Kita harus selalu menyertakan kata “setara” tiap kali menulis jumlah emisi. Sebab, gas rumah kaca berbahaya bagi atmosfer tak hanya CO2.

Ada lima gas rumah kaca lain yang lebih kuat mencederai atmosfer seperti metana, hidrofluorokarbon, karbon nitrat.

Pemakaian satuan CO2 untuk patokan karena gas ini mudah ditimbang dan dihitung.

Produksi karbon dioksida sendiri sebanyak 37 miliar ton. Ia terbuat sebagai hasil aktivitas manusia, dari bernapas hingga produksi barang, dari membangun lahan pertanian hingga pembalakan kayu hutan.

Maka, jika soalnya adalah emisi yang sampai ke atmosfer, cara terbaik mencegah krisis iklim adalah tak membiarkan gas-gas tersebut sampai ke sana.

Secara alamiah, gas-gas rumah kaca akan tersimpan dalam sebuah ekosistem dengan daya serap yang kuat di bumi, sampai ekosistem itu rusak dan tak lagi mampu menampungnya.

Strategi Nol-Bersih Emisi

Strategi nol-bersih emisi adalah pendekatan dan strategi mencapai nol emisi pada 2050 melalui penyediaan penyerapan emisi karbon, seperti restorasi dan pencegahan deforestasi.

Penduduk bumi mesti mengurangi 45% emisi pada 2050. Sisa emisi yang masih terproduksi mesti terserap agar suhu bumi tak naik hingga 1,5 derajat Celcius untuk mencegah krisis iklim.

Sebab, jika kenaikan suhu dibandingkan masa pra industri 1800-1850 terjadi, pelbagai bencana akan menyerang manusia.

Baca Juga :  Setop Deforestasi! Indonesia dan 100 Negara Lain Siapkan dana Rp270 Triliun

Bagaimana caranya? Menyediakan penyerap bagi 55% karbon yang masih diproduksi itu, kita menyebutnya karbon netral.

Artinya, antara produksi emisi dan penyerapnya menjadi seimbang. Dunia akan berlomba mencapai karbon netral pada 2050.

Dalam dokumen NDC baru, pemerintah Indonesia menargetkan karbon netral terjadi pada 2060.

Meski perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan karbon netral dapat terjadi pada 2045, pemerintah cenderung memilih tahun 2060 dari empat skenario yang dibuat pemerintah sendiri, yakni pada 2045, 2050, 2060, dan 2070.

Dengan skenario karbon netral pada 2060, pemerintah masih mengizinkan deforestasi.

Artinya, hutan akan dibuka untuk investasi. Luas total deforestasi yang diizinkan 820.000 hektare per tahun dalam skenario penurunan emisi 29% dari 2,8 miliar ton setara CO2 pada 2030.

Konversi hutan ini membuat cadangan karbon di pohon atau tanah dan serasah akan menguap ke atmosfer.

Agar tak menguap, deforestasi itu mesti ditambal dengan rehabilitasi dan reforestasi. Dalam dokumen NDC baru, target rehabilitasi seluas 280.000 hektare atau akumulasi pada 2030 seluas 5,6 juta hektare. Sementara restorasi hutan rawa gambut 2 juta hektare dengan tingkat keberhasilan 90%.

Apakah skenario karbon netral akan berhasil? Selain rehabilitasi hutan dan lahan gundul, ekosistem lain yang menjadi penyerap emisi terbaik adalah laut. Seluruh luas laut di bumi mampu menyerap 23% emisi karbon melalui terumbu karang, padang lamun, atau hutan mangrove.

Jika hutan dan laut rusak karena penebangan atau konversi menjadi nonhutan atau tambak udang, karbon netral punya tantangan sangat berat.

Walhasil, bumi bersiap menyongsong krisis iklim, apalagi jika manusia tak mampu mengurangi emisi karbon karena jumlah penduduk bumi terus bertambah, dengan beralih ke hidup dan teknologi ramah lingkungan—pengertian yang mengacu ke net zero emission.

Komitmen Indonesia Menuju Netral Karbon

Sejumlah strategi dan kebijakan dirancang untuk menuju komitmen tersebut.

Pemerintah telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2023.

RUPTL itu pun cukup memberikan penjelasan bahwa Indonesia terus berusaha memenuhi komitmennya terhadap isu perubahan iklim. Bentuk komitmen berupa memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).

Melansir laman Indonesia.go.id target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23 persen pada 2025. Saat ini porsi EBT baru mencapai 14 persen hingga akhir 2020.

Baca Juga :  Syarat Usia Minimum Untuk Menjadi Jaksa Kini Lebih Muda

“RUPTL PLN 2021-2030 saat ini merupakan RUPTL lebih hijau karena porsi penambahan pembangkit EBT sebesar 51,6 persen, lebih besar dibandingkan pembangkit berbasis fosil dengan porsi 48,4 persen,” ujar Arifin Tasrif, Menteri ESDM dalam berbagai kesempatan.

Meskipun RUPTL PLN itu menyebutkan perusahaan plat merah akan mendongkrak porsi pembangkitan yang lebih hijau, program pembangkitan dengan kapasitas 35,000 MW tetap berjalan. Dari program itu, dalam dua tahun ke depan, ada sekitar 14.700 MW—sebagian besar dari PLTU batu bara—yang akan masuk ke jaringan pembangkitan PLN.

RUPTL PLN 2021–2030 pun sudah disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021.

Di RUPTL itu juga tidak akan mengakomodasi rencana PLTU baru, kecuali yang sudah berkomitmen sebelumnya dan sudah melakukan konstruksi.

Artinya, RUPTL itu membuka ruang yang cukup besar untuk pengembangan EBT menggantikan rencana PLTU dalam RUPTL sebelumnya.

Dalam hitungan kementerian itu, kebutuhan investasi untuk membangun pembangkit EBT demi mencapai target netral karbon pada 2060 mencapai Rp14.950 triliun atau Rp360 triliun per tahun.

Artinya, Indonesia harus menyediakan investasi setidaknya USD25 miliar (Rp 360 triliun) per tahun untuk mencapai target netral karbon pada 2060.

“Kebutuhan listrik nasional pada 2060 sepenuhnya bakal dipasok dari energi terbarukan,” ujar Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

Butuh Dana Besar

Meski begitu, kebutuhan untuk merealisasikan pembangunan pembangkit EBT pada tahun tersebut terbilang cukup besar.

“Biaya perhitungan kami basisnya keperluan pembangkit, USD1.043 miliar atau USD25 miliar per tahun untuk 40 tahun ke depan,” katanya dalam satu diskusi, Kamis (16/12/2021).

Pemerintah sebelumnya juga memproyeksikan kebutuhan listrik nasional pada 2060 bakal meningkat menjadi 1.885 terawatt hour (TWh). Dari jumlah tersebut sepenuhnya akan dipasok oleh pembangkit dari EBT.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, berdasarkan pemodelan yang telah dibuat pemerintah, dari proyeksi kebutuhan listrik pada 2060, permintaan listrik PLN diperkirakan 1.728 TWh. Sedangkan dari non-PLN sebesar 157 TWh.

Adapun proyeksi konsumsi listrik per kapita diproyeksi akan mencapai lebih dari 5.000 kilowatt hour (kWh) pada 2060.

Baca Juga :  Thrifting Melawan : Pelarangan dan Pemberhentian Bukan Solusi, Jangan Korbankan Kami !!

Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut dan dalam mencapai net zero emission, maka pemenuhan kebutuhan listrik EBT sebesar 1885 TWh pada 2060 akan dipasok dari pembangkit EBT sebesar 635 GW.

Dalam paparannya, Dadan Kusdiana menjelaskan, kebutuhan investasi pembangkit listrik ini didominasi oleh energi baru terbarukan. Sebanyak 70 persen pendanaan dioptimalkan untuk pengembangan hydropower, panel surya, pembangkit nuklir, dan battery energy storage system (BESS).

Energi hidro atau pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) membutuhkan investasi masing-masing USD230,04 miliar dan USD169,7 miliar.

Kementerian memproyeksikan pengembangan listrik untuk PLTA mencapai 74,9 gigawatt (GW) dalam 40 tahun ke depan.

Adapun, PLTS ditargetkan mampu menyediakan daya 464,8 GW. Pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN diproyeksi menyedot dana hingga USD182,5 miliar untuk membangun pembangkit 34 GW, sedangkan BESS memerlukan investasi sekurang-kurangnya USD119,8 miliar.

Total kebutuhan investasi USD1.043 miliar ini diproyeksi untuk mencapai kapasitas listrik 707,7 GW.

Angka ini belum termasuk teknologi storage yang tengah dikembangkan dunia untuk pembangkit energi terbarukan. Terkait energi terbarukan, pihaknya membidik percepatan pengembangannya sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021—2030.

Data kementerian menyebutkan bahwa potensi energi surya paling tinggi mencapai 3.295 GW dengan pemanfaatan 194 MW. Selain itu energi hidro telah dimanfaatkan 6.432 MW dari potensi 94 GW. Selanjutnya, bioenergi memiliki potensi 57 GW dan telah dimanfaatkan 1.923 MW.

Adapun angin memiliki potensi 155 GW, namun pemanfaatannya baru 154 MW. Sementara itu, panas bumi telah dimanfaatkan 2.186 MW dari potensi 24 GW. Terakhir energi laut atau samudra masih belum dimanfaatkan sama sekali.

Padahal potensinya mencapai 60 GW. Kementerian ESDM juga akan terus mendorong penerapan teknologi, termasuk B30, co-fi ring batu bara, dan konservsi energi primer fosil.

Dari gambaran di atas, potensi investasi di sektor kelistrikan menuju netral karbon 2060 cukup besar. Pemerintah pun tidak akan bisa menyediakan sendiri kebutuhan investasi sebesar itu sendirian. Butuh kemitraan swasta untuk bisa merealisasikan komitmen, termasuk berkaitan isu lingkungan secara bersama.

Komentar