8 Maret 2021 - 11:01 WIB | Dibaca : 523 kali

Bicara Perempuan di Hari Perempuan Internasional

Laporan : Tim Swara
Editor : Noviani Dwi Putri

SWARAID-PALEMBANG, (08/03/2021): Hari ini, 8 Maret 2021 diperingati sebagai International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional. Tema yang diambil pada IWD tahun ini adalah “Let’s all choose to challenge”. Hari perempuan internasional merupakan hari global yang merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya, dan politik perempuan. Hari itu juga menandai seruan untuk bertindak mempercepat kesetaraan perempuan. Seperti yang tertulis pada situs resmi IWD.

Sejarah Penetapan Hari Perempuan Internasional

Pada 1910, Pemimpin ‘Kantor Perempuan’ Clara Zetkin mengajukan sebuah gagasan untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional yang menyarankan setiap negara merayakan satu hari dalam setahun untuk mendukung aksi tuntutan perempuan.

Gagasan ini disetujui Konferensi perempuan dari 17 negara yang beranggotakan total 100 perempuan. Sehingga disepakati 19 Maret 1991 sebagai perayaan pertama Hari Perempuan Internasional di Australia, Jerman, Denmark, dan Swiss. (CNNIndonesia)

Perempuan tidak pernah menjadi topik basi untuk dibicarakan dari masa ke masa. Isu kesetaraan, kekerasan, keikutsertaan dalam peran pembangunan, hingga berperan aktif dalam dunia pergerakan. Sejarah mencatat, perempuan punya andil dalam berbagai aspek perjalanan bangsa.

Perempuan dan Pergerakan di Indonesia

Perempuan dan pergerakan bukan hal baru, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran perempuan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dapat kita telusuri melalui eksistensi organisasi pergerakan perempuan pada awal abad ke-20 Masehi.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern : 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, latar belakang munculnya organisasi pergerakan perempuan di Indonesia berkaitan dengan penerapan kebijakan Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda.

Penerapan Politik Etis pada awal abad ke-20 Masehi telah menciptakan banyak pembaharuan-pembaharuan penting yang identik dengan unsur modernitas.

Hal tersebut berhasil memberikan kesadaran terhadap kaum perempuan Indonesia untuk turut berjuang demi kesejahteraan dan kemerdekaan bangsa. Tujuan pergerakan organisasi perempuan di Indonesia adalah untuk memajukan status perempuan pribumi di bidang sosial, politik, dan pendidikan.

Baca Juga :  Ketua Mahkamah Konstitusi Jadi Ipar Jokowi, Khawatir Sarat Politik Kepentingan

Dengan begitu, perempuan-perempuan Indonesia mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. (kompas.com)

Fase gerakan perempuan di Indonesia

Aktivis perempuan Nursyabani Kartjasungkana, dan salah satu pendiri Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menjabarkan soal empat fase sejarah gerakan perempuan di Indonesia.

Fase-fase tersebut adalah era Kartini hingga era kemerdekaan pada 1945; periode pasca-kemerdekaan hingga tahun 1965; era Orde Baru hingga 1998; dan tahun 1998 hingga sekarang.

Di dalam fase awal pada tahun 1900-an pikiran-pikiran R.A. Kartini, terutama himbauan dari tiga bersaudara Kartini dalam koran De Locomotief di Semarang, memberikan pengaruh besar pada lahirnya organisasi perempuan atau gerakan perempuan di Indonesia.

“Tiga bersaudara Kartini ini memberikan himbauan pada para pejuang kemerdekaan dan organisasi-organisasi perempuan untuk membentuk organisasi yang modern,” ujar Nursyahbani.

Sebelum kemunculan Kartini pada akhir abad 19, sudah ada para perempuan di kalangan bangsawan yang giat berusaha memajukan perempuan, tetapi masih terbatas pada lingkungan kecil mereka.

Sukanti Suryochondro dalam bukunya, Potret Pergerakan Wanita Indonesia mengungkapkan bahwa emansipasi perempuan di kalangan raja Jawa misalnya, mula-mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta.

Pelopor-pelopor emansipasi perempuan ketika itu menyoroti masalah pendidikan bagi kaum mereka. Para pelopor tersebut, termasuk Kartini kemudian menyadari bahwa pendidikan akan meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan perempuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat.

Kartini mencoba membuka akses pendidikan bagi perempuan dengan membuka sekolah di rumahnya sendiri. Di tempat lain dengan semangat yang sama, ada Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mengepalai sekolah di Bandung, dan Maria Walanda Maramis yang pada tahun 1918 mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado.

Baca Juga :  Sri Mulyani Siapkan Rp 7,5 Triliun Untuk Selamatkan Garuda

Sukanti dalam buku yang sama juga mengatakan bahwa walaupun sudah banyak tokoh-tokoh penggerak perjuangan perempuan di Indonesia, lambat laun dirasakan bahwa tidak cukup bagi perempuan untuk berjalan sendiri-sendiri. Inisiatif untuk membentuk organisasi perempuan pun muncul kemudian demi mewujudkan kesamaan hak perempuan dan laki-laki.

Organisasi perempuan

Atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, didirikanlah organisasi perempuan pertama di Jakarta bernama Poetri Mardika. Dalam upaya pemberdayaan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, organisasi ini melakukan kampanye dengan menerbitkan surat kabar Poetri Mardika pada tahun 1914. Media ini melakukan banyak kampanye pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan pengajaran.

Setelah itu mulailah bermunculan organisasi-organisasi perempuan seperti Pawijitan Wanita di Magelang (1915), Aisyah (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918), dan lain-lain. Sukanti berpendapat bahwa umumnya, semua organisasi perempuan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk tali persaudaraan demi harkat martabat perempuan, memberi kesempatan lebih banyak bagi perempuan memperoleh pendidikan, dan mendorong penghapusan ketidakadilan bagi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. (magdalene.co)

Perempuan di era modern

Meski emansipasi telah digaungkan dimana-mana, bahkan tak sedikit perempuan memegang peranan penting, termasuk pemerintahan. Namun perempuan di era modern masih tak lepas dari kemelut problematika klasik. Kesenjangan upah masih menjadi persoalan bagi perempuan pekerja.

Dilansir dari beritasatu.com, menurut survei angkatan kerja Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2020, perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dari laki-laki. Pendidikan saja ternyata tidak dapat menutup kesenjangan upah berdasarkan gender. Pekerja perempuan dengan gelar sarjana mendapatkan penghasilan yang cukup rendah dibandingkan laki-laki.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kondisi upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di dunia.

Baca Juga :  Pinjaman Rp5,74 Triliun dari Bank Dunia Untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional

“Ini karena di dalam norma sosial dan budaya dari perusahaan atau masyarakat karena dominasi dari laki-laki seringkali secara taken for granted bahwa laki-laki ya pantasnya dibayar segini, kalau perempuan oh nanti sebentar lagi dia hamil, dia cuti, segala macam, jadi ada alasan saja. Kalau Undang-undangnya sudah jelas, realitanya tidak, ya karena diversity di dalam decision making process-nya tidak ada.” Kata Sri Mulyani (06/03/21).

Berbagai perjuangan selama ini memang sudah dilakukan terkait isu gender, mulai dari menggunakan podcast, atau para tokoh ramai-ramai berbicara mengenai betapa tidak adilnya perempuan dibayar lebih rendah, padahal menduduki posisi yang sama.

“Ini banyak, bahkan di perusahaan internasional yang selama ini mengadvokasi gender equality pun secara tidak sadar di dalamnya masih mempraktekkan hal itu. Bias itu mungkin juga banyak laki-laki yang tidak sadar bahwa itu bias, karena mereka taking for granted ya dari kecil dididik seperti itu. Padahal ini tidak fair untuk gender yang lain.” kata Sri Mulyani.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2020, kesenjangan upah laki-laki dan perempuan di Indonesia sebesar 23%, di mana rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai laki-laki sebesar Rp 3,18 jta dibanding perempuan Rp 2,45 juta. Di tengah-tengah pandemi, kesenjangan sedikit menipis menjadi 21% per Agustus 2020. Namun, pada saat yang bersamaan, rata-rata upah juga menurun. Laki-laki menjadi Rp 2,98 juta dan perempuan menjadi Rp 2,35 juta.

Kesenjangan juga terjadi di Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Per Agustus 2020, TPAK laki-laki sebesar 82,4% sementara perempuan hanya 53,3%. Ini bisa diartikan dalam setiap 100 orang penduduk usia kerja, perempuan hanya sekitar 53 orang yang termasuk angkatan kerja. (beritasatu.com)

 

 

 

Komentar